Kamis, 08 November 2012

ethical governance



Today business is subject to new and greater pressures and external factors, including regulatory changes. One of the biggest challenges comes from globalisation. As such, companies are confronted with different standards of values and practices.

In view of a growing string of failures of dubious business ethics, world's business leaders have woken to the necessity of ethical leadership. Nevertheless, ethical leadership is not merely a necessity, it is now an opportunity - a source of competitive advantage for companies and a tool with which to add business value.

Once an organization is regarded as corrupt, its level of legitimacy declines. With declining legitimacy, the call for more regulation will grow louder, stifling the organization concerned and the whole economy. More laws will come into effect, making business even more difficult. The corollary is that, in a system when one organization subverts the law, it becomes much harder for other companies to operate cleanly.

This is where Ethical Leadership is a necessity. Only if management sets clear, unequivocal policies and controls stipulating zero tolerance, can management ensure good practice.

But by seizing on Ethical Leadership as an opportunity, a manager could actually enhance his or her reputation inside the firm. By exercising Ethical Leadership, managers inspire and generate confidence in individuals at all levels of the company.

There has always been a necessity for the industry in gaining consumer trust and confidence. With ever growing competition in the market place, Ethics has been the key driver in creating and defending and enhancing 'Reputation' and 'Confidence of a brand', through transparency, free flow of information, and good governance.

Ethical Governance presents us with a great opportunity to differentiate from the competition in the market - to add value. A company which is known to be secure and run on ethical principles will be more trusted by customers, shareholders and investors, and it will be more successful than those less ethical companies.

In summary, by operating with a social conscience, the ethical leader does not just build confidence and loyalty with staff, but builds goodwill in the market, community and society at large.

Ethical Leadership is not without its challenges. For instance, ethics are often highly personal. Nor can Ethical Leadership be instilled in an organization or corporation overnight.

Ethical Leadership requires habit, and it requires proper regulations. Education and communication must be further enhanced, Ethical issues must find and gain support in the work place and also in the society, and finally there must be proper motivation and recognitions given for those wishing to pursue Ethics.

Sumber  : http://ethicalgov.blogspot.com/

ETIKA DALAM BISNIS

ETIKA DALAM BISNIS

Permasalahan Etika dalam Bisnis
Beberapa hari terakhir ada dua berita yang mempertanyakan apakah etika
dan bisnis berasal dari dua dunia berlainan. Pertama, melubernya lumpur dan gas
panas di Kabupaten Sidoarjo yang disebabkan eksploitasi gas PT Lapindo Brantas.
Kedua, obat antinyamuk HIT yang diketahui memakai bahan pestisida berbahaya
yang dilarang penggunaannya sejak tahun 2004. Dalam kasus Lapindo, bencana
memaksa penduduk harus ke rumah sakit. Perusahaan pun terkesan lebih
mengutamakan penyelamatan aset-asetnya daripada mengatasi soal lingkungan dan
sosial yang ditimbulkan. Pada kasus HIT, meski perusahaan pembuat sudah
meminta maaf dan berjanji akan menarik produknya, ada kesan permintaan maaf itu

klise. Penarikan produk yang kandungannya bisa menyebabkan kanker itu terkesan
tidak sungguh-sungguh dilakukan. Produk berbahaya itu masih beredar di pasaran.
Atas kasus-kasus itu, kedua perusahaan terkesan melarikan diri dari tanggung
jawab. Sebelumnya, kita semua dikejutkan dengan pemakaian formalin pada
pembuatan tahu dan pengawetan ikan laut serta pembuatan terasi dengan bahan
yang sudah berbelatung.
Dari kasus-kasus yang disebutkan sebelumnya, bagaimana perusahaan
bersedia melakukan apa saja demi laba. Wajar bila ada kesimpulan, dalam bisnis,
satu-satunya etika yang diperlukan hanya sikap baik dan sopan kepada pemegang
saham. Harus diakui, kepentingan utama bisnis adalah menghasilkan keuntungan
maksimal bagi shareholders. Fokus itu membuat perusahaan yang berpikiran pendek
dengan segala cara berupaya melakukan hal-hal yang bisa meningkatkan
keuntungan. Kompetisi semakin ketat dan konsumen yang kian rewel sering menjadi
faktor pemicu perusahaan mengabaikan etika dalam berbisnis.
Namun, belakangan beberapa akademisi dan praktisi bisnis melihat
adanya hubungan sinergis antara etika dan laba. Menurut mereka, justru di era
kompetisi yang ketat ini, reputasi baik merupakan sebuah competitive advantage
yang sulit ditiru. Salah satu kasus yang sering dijadikan acuan adalah bagaimana
Johnson & Johnson (J&J) menangani kasus keracunan Tylenol tahun 1982. Pada
kasus itu, tujuh orang dinyatakan mati secara misterius setelah mengonsumsi
Tylenol di Chicago. Setelah diselidiki, ternyata Tylenol itu mengandung racun
sianida. Meski penyelidikan masih dilakukan guna mengetahui pihak yang
bertanggung jawab, J&J segera menarik 31 juta botol Tylenol di pasaran dan
mengumumkan agar konsumen berhenti mengonsumsi produk itu hingga
pengumuman lebih lanjut. J&J bekerja sama dengan polisi, FBI, dan FDA (BPOMnya
Amerika Serikat) menyelidiki kasus itu. Hasilnya membuktikan, keracunan itu
disebabkan oleh pihak lain yang memasukkan sianida ke botol-botol Tylenol. Biaya
yang dikeluarkan J&J dalam kasus itu lebih dari 100 juta dollar AS. Namun, karena
kesigapan dan tanggung jawab yang mereka tunjukkan, perusahaan itu berhasil
membangun reputasi bagus yang masih dipercaya hingga kini. Begitu kasus itu
diselesaikan, Tylenol dilempar kembali ke pasaran dengan penutup lebih aman dan
produk itu segera kembali menjadi pemimpin pasar (market leader) di Amerika
Serikat.
Secara jangka panjang, filosofi J&J yang meletakkan keselamatan konsumen
di atas kepentingan perusahaan berbuah keuntungan lebih besar kepada

perusahaan. Doug Lennick dan Fred Kiel, 2005 (dalam Itpin, 2006) penulis buku
Moral Intelligence, berargumen bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki
pemimpin yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih
sukses dalam jangka panjang. Hal sama juga dikemukakan miliuner Jon M
Huntsman, 2005 (dalam Itpin, 2006) dalam buku Winners Never Cheat. Dikatakan,
kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha yang
memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain. Berkaca pada beberapa
contoh kasus itu, sudah saatnya kita merenungkan kembali cara pandang lama yang
melihat etika dan bisnis sebagai dua hal berbeda. Memang beretika dalam bisnis
tidak akan memberi keuntungan segera. Karena itu, para pengusaha dan praktisi
bisnis harus belajar untuk berpikir jangka panjang. Peran masyarakat, terutama
melalui pemerintah, badan-badan pengawasan, LSM, media, dan konsumen yang
kritis amat dibutuhkan untuk membantu meningkatkan etika bisnis berbagai
perusahaan di Indonesia.
Sebuah studi selama dua tahun yang dilakukan The Performance Group,
sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical
Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa
pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental
compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendongkrak
profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan
investasi. Di tahun 1999, jurnal Business and Society Review menulis bahwa 300
perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang
berlandaskan pada kode etik akan meningkatkan market value added sampai duatiga
kali daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa. Bukti lain,
seperti riset yang dilakukan oleh DePaul University di tahun 1997 menemukan
bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen korporat mereka dalam
menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan
tahunan/revenue) yang lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal
serupa (lihat Iman, 2006).
Praktik Bisnis Masih Abaikan Etika
Rukmana (2004) menilai praktik bisnis yang dijalankan selama ini masih
cenderung mengabaikan etika, rasa keadilan dan kerapkali diwarnai praktik-praktik
bisnis tidak terpuji atau moral hazard. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin
meluas di masyarakat yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan sekarang meluas

sampai ke daerah-daerah, dan meminjam istilah guru bangsa yakni Gus Dur,
korupsi yang sebelumnya di bawah meja, sekarang sampai ke meja-mejanya
dikorupsi adalah bentuk moral hazard di kalangan ekit politik dan elit birokrasi. Hal ini
mengindikasikan bahwa di sebagian masyarakat kita telah terjadi krisis moral dengan
menghalalkan segala mecam cara untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu
memperkaya diri sendiri maupun tujuan kelompok untuk eksistensi keberlanjutan
kelompok. Terapi ini semua adalah pemahaman, implementasi dan investasi etika
dan nilai-nilai moral bagi para pelaku bisnis dan para elit politik.
Dalam kaitan dengan etika bisnis, terutama bisnis berbasis syariah,
pemahaman para pelaku usaha terhadap ekonomi syariah selama ini masih
cenderung pada sisi "emosional" saja dan terkadang mengkesampingkan konteks
bisnis itu sendiri. Padahal segmen pasar dari ekonomi syariah cukup luas, baik itu
untuk usaha perbankan maupun asuransi syariah. Dicontohkan, segmen pasar
konvensional, meski tidak "mengenal" sistem syariah, namun potensinya cukup
tinggi. Mengenai implementasi etika bisnis tersebut, Rukmana mengakui beberapa
pelaku usaha memang sudah ada yang mampu menerapkan etika bisnis tersebut.
Namun, karena pemahaman dari masing-masing pelaku usaha mengenai etika
bisnis berbeda-beda selama ini, maka implementasinyapun berbeda pula,
Keberadaan etika dan moral pada diri seseorang atau sekelompok orang
sangat tergantung pada kualitas sistem kemasyarakatan yang melingkupinya.
Walaupun seseorang atau sekelompok orang dapat mencoba mengendalikan
kualitas etika dan moral mereka, tetapi sebagai sebuah variabel yang sangat rentan
terhadap pengaruh kualitas sistem kemasyarakatan, kualitas etika dan moral
seseorang atau sekelompok orang sewaktu-waktu dapat berubah. Baswir (2004)
berpendapat bahwa pembicaraan mengenai etika dan moral bisnis sesungguhnya
tidak terlalu relevan bagi Indonesia. Jangankan masalah etika dan moral, masalah
tertib hukum pun masih belum banyak mendapat perhatian. Sebaliknya, justru
sangat lumrah di negeri ini untuk menyimpulkan bahwa berbisnis sama artinya
dengan menyiasati hukum. Akibatnya, para pebisnis di Indonesia tidak dapat lagi
membedakan antara batas wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum. Wilayah
etika dan moral adalah sebuah wilayah pertanggungjawaban pribadi. Sedangkan
wilayah hukum adalah wilayah benar dan salah yang harus dipertanggungjawabkan
di depan pengadilan. Akan tetapi memang itulah kesalahan kedua dalam memahami
masalah etika dan moral di Indonesia. Pencampuradukan antara wilayah etika dan
moral dengan wilayah hukum seringkali menyebabkan kebanyakan orang Indonesia

tidak bisa membedakan antara perbuatan yang semata-mata tidak sejalan dengan
kaidah-kaidah etik dan moral, dengan perbuatan yang masuk kategori perbuatan
melanggar hukum. Sebagai misal, sama sekali tidak dapat dibenarkan bila masalah
korupsi masih didekati dari sudut etika dan moral. Karena masalah korupsi sudah
jelas dasar hukumnya, maka masalah itu haruslah didekati secara hukum. Demikian
halnya dengan masalah penggelapan pajak, pencemaran lingkungan, dan
pelanggaran hak asasi manusia.
BERBISNIS DENGAN ETIKA
Epistemologi Etika Bisnis
Menurut Kamus Inggris Indonesia Oleh Echols and Shadily (1992: 219),
Moral = moral, akhlak, susila (su=baik, sila=dasar, susila=dasar-dasar kebaikan);
Moralitas = kesusilaan; Sedangkan Etik (Ethics) = etika, tata susila. Sedangkan
secara etika (ethical) diartikan pantas, layak, beradab, susila. Jadi kata moral dan
etika penggunaannya sering dipertukarkan dan disinonimkan, yang sebenarnya
memiliki makna dan arti berbeda. Moral dilandasi oleh etika, sehingga orang yang
memiliki moral pasti dilandasi oleh etika. Demikian pula perusahaan yang memiliki
etika bisnis pasti manajernya dan segenap karyawan memiliki moral yang baik.
Uno (2004) membedakan pengertian etika dengan etiket. Etiket (sopan
santun) berasal dari bahasa Prancis etiquette yang berarti tata cara pergaulan yang
baik antara sesama menusia. Sementara itu etika, berasal dari bahasa Latin, berarti
falsafah moral dan merupakan cara hidup yang benar dilihat dari sudut budaya,
susila, dan agama.
Jika kata etika dikaitkan dengan kata bisnis akan menjadi Etika Binis
(business ethics). Steade et al (1984: 701) dalam bukunya ”Business, Its Natura and
Environment An Introduction” memberi batasan yakni, ”business ethics is ethical
standards that concern both the ends and means of business decision making”.
Definisi etika bisnis menurut Business & Society - Ethics and Stakeholder
Management (Caroll & Buchholtz, ?: dalam Iman, 2006):
Ethics is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and
obligation. Ethics can also be regarded as a set of moral principles or values.
Morality is a doctrine or system of moral conduct. Moral conduct refers to that which
relates to principles of right and wrong in behavior. Business ethics, therefore, is
concerned with good and bad or right and wrong behavior that takes place within a
business context. Concepts of right and wrong are increasingly being interpreted

today to include the more difficult and subtle questions of fairness, justice, and
equity.
Sim (2003) dalam bukunya Ethics and Corporate Social Responsibility - Why
Giants Fall, menyebutkan:
Ethics is a philosophical term derived from the Greek word “ethos,” meaning
character or custom. This definition is germane to effective leadership in
organizations in that it connotes an organization code conveying moral integrity and
consistent values in service to the public.
Jadi, ada beberapa kata kunci di sini, yaitu:
Ethics: Is the discipline that deals with what is good and bad and with moral
duty and obligation, can also be regarded as a set of moral principles or
values.
Ethical behavior: Is that which isaccepted as morally “good” and “right” as
opposed to “bad” or “wrong” in a particular setting.
Morality: A system or doctrine of moral conduct which refers to principles of
right and wrong in behavior.
Etika bisnis sendiri terbagi dalam:
Normative ethics: Concerned with supplying and justifying a coherent moral
system of thinking and judging. Normative ethics seeks to uncover, develop,
and justify basic moral principles that are intended to guide behavior, actions,
and decisions (DeGeorge, 2002)
Descriptive ethics: Is concerned with describing, characterizing, and studying
the morality of a people, a culture, or a society. It also compares and contrasts
different moral codes, systems, practices, beliefs, and values (Bunchholtz and
Rosenthal, 1998).

ETIKA DALAM BISNIS





Permasalahan Etika dalam Bisnis
Beberapa hari terakhir ada dua berita yang mempertanyakan apakah etika
dan bisnis berasal dari dua dunia berlainan. Pertama, melubernya lumpur dan gas
panas di Kabupaten Sidoarjo yang disebabkan eksploitasi gas PT Lapindo Brantas.
Kedua, obat antinyamuk HIT yang diketahui memakai bahan pestisida berbahaya
yang dilarang penggunaannya sejak tahun 2004. Dalam kasus Lapindo, bencana
memaksa penduduk harus ke rumah sakit. Perusahaan pun terkesan lebih
mengutamakan penyelamatan aset-asetnya daripada mengatasi soal lingkungan dan
sosial yang ditimbulkan. Pada kasus HIT, meski perusahaan pembuat sudah
meminta maaf dan berjanji akan menarik produknya, ada kesan permintaan maaf itu

klise. Penarikan produk yang kandungannya bisa menyebabkan kanker itu terkesan
tidak sungguh-sungguh dilakukan. Produk berbahaya itu masih beredar di pasaran.
Atas kasus-kasus itu, kedua perusahaan terkesan melarikan diri dari tanggung
jawab. Sebelumnya, kita semua dikejutkan dengan pemakaian formalin pada
pembuatan tahu dan pengawetan ikan laut serta pembuatan terasi dengan bahan
yang sudah berbelatung.
Dari kasus-kasus yang disebutkan sebelumnya, bagaimana perusahaan
bersedia melakukan apa saja demi laba. Wajar bila ada kesimpulan, dalam bisnis,
satu-satunya etika yang diperlukan hanya sikap baik dan sopan kepada pemegang
saham. Harus diakui, kepentingan utama bisnis adalah menghasilkan keuntungan
maksimal bagi shareholders. Fokus itu membuat perusahaan yang berpikiran pendek
dengan segala cara berupaya melakukan hal-hal yang bisa meningkatkan
keuntungan. Kompetisi semakin ketat dan konsumen yang kian rewel sering menjadi
faktor pemicu perusahaan mengabaikan etika dalam berbisnis.
Namun, belakangan beberapa akademisi dan praktisi bisnis melihat
adanya hubungan sinergis antara etika dan laba. Menurut mereka, justru di era
kompetisi yang ketat ini, reputasi baik merupakan sebuah competitive advantage
yang sulit ditiru. Salah satu kasus yang sering dijadikan acuan adalah bagaimana
Johnson & Johnson (J&J) menangani kasus keracunan Tylenol tahun 1982. Pada
kasus itu, tujuh orang dinyatakan mati secara misterius setelah mengonsumsi
Tylenol di Chicago. Setelah diselidiki, ternyata Tylenol itu mengandung racun
sianida. Meski penyelidikan masih dilakukan guna mengetahui pihak yang
bertanggung jawab, J&J segera menarik 31 juta botol Tylenol di pasaran dan
mengumumkan agar konsumen berhenti mengonsumsi produk itu hingga
pengumuman lebih lanjut. J&J bekerja sama dengan polisi, FBI, dan FDA (BPOMnya
Amerika Serikat) menyelidiki kasus itu. Hasilnya membuktikan, keracunan itu
disebabkan oleh pihak lain yang memasukkan sianida ke botol-botol Tylenol. Biaya
yang dikeluarkan J&J dalam kasus itu lebih dari 100 juta dollar AS. Namun, karena
kesigapan dan tanggung jawab yang mereka tunjukkan, perusahaan itu berhasil
membangun reputasi bagus yang masih dipercaya hingga kini. Begitu kasus itu
diselesaikan, Tylenol dilempar kembali ke pasaran dengan penutup lebih aman dan
produk itu segera kembali menjadi pemimpin pasar (market leader) di Amerika
Serikat.
Secara jangka panjang, filosofi J&J yang meletakkan keselamatan konsumen
di atas kepentingan perusahaan berbuah keuntungan lebih besar kepada

perusahaan. Doug Lennick dan Fred Kiel, 2005 (dalam Itpin, 2006) penulis buku
Moral Intelligence, berargumen bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki
pemimpin yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih
sukses dalam jangka panjang. Hal sama juga dikemukakan miliuner Jon M
Huntsman, 2005 (dalam Itpin, 2006) dalam buku Winners Never Cheat. Dikatakan,
kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha yang
memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain. Berkaca pada beberapa
contoh kasus itu, sudah saatnya kita merenungkan kembali cara pandang lama yang
melihat etika dan bisnis sebagai dua hal berbeda. Memang beretika dalam bisnis
tidak akan memberi keuntungan segera. Karena itu, para pengusaha dan praktisi
bisnis harus belajar untuk berpikir jangka panjang. Peran masyarakat, terutama
melalui pemerintah, badan-badan pengawasan, LSM, media, dan konsumen yang
kritis amat dibutuhkan untuk membantu meningkatkan etika bisnis berbagai
perusahaan di Indonesia.
Sebuah studi selama dua tahun yang dilakukan The Performance Group,
sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical
Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa
pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental
compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendongkrak
profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan
investasi. Di tahun 1999, jurnal Business and Society Review menulis bahwa 300
perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang
berlandaskan pada kode etik akan meningkatkan market value added sampai duatiga
kali daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa. Bukti lain,
seperti riset yang dilakukan oleh DePaul University di tahun 1997 menemukan
bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen korporat mereka dalam
menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan
tahunan/revenue) yang lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal
serupa (lihat Iman, 2006).
Praktik Bisnis Masih Abaikan Etika
Rukmana (2004) menilai praktik bisnis yang dijalankan selama ini masih
cenderung mengabaikan etika, rasa keadilan dan kerapkali diwarnai praktik-praktik
bisnis tidak terpuji atau moral hazard. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin
meluas di masyarakat yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan sekarang meluas

sampai ke daerah-daerah, dan meminjam istilah guru bangsa yakni Gus Dur,
korupsi yang sebelumnya di bawah meja, sekarang sampai ke meja-mejanya
dikorupsi adalah bentuk moral hazard di kalangan ekit politik dan elit birokrasi. Hal ini
mengindikasikan bahwa di sebagian masyarakat kita telah terjadi krisis moral dengan
menghalalkan segala mecam cara untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu
memperkaya diri sendiri maupun tujuan kelompok untuk eksistensi keberlanjutan
kelompok. Terapi ini semua adalah pemahaman, implementasi dan investasi etika
dan nilai-nilai moral bagi para pelaku bisnis dan para elit politik.
Dalam kaitan dengan etika bisnis, terutama bisnis berbasis syariah,
pemahaman para pelaku usaha terhadap ekonomi syariah selama ini masih
cenderung pada sisi "emosional" saja dan terkadang mengkesampingkan konteks
bisnis itu sendiri. Padahal segmen pasar dari ekonomi syariah cukup luas, baik itu
untuk usaha perbankan maupun asuransi syariah. Dicontohkan, segmen pasar
konvensional, meski tidak "mengenal" sistem syariah, namun potensinya cukup
tinggi. Mengenai implementasi etika bisnis tersebut, Rukmana mengakui beberapa
pelaku usaha memang sudah ada yang mampu menerapkan etika bisnis tersebut.
Namun, karena pemahaman dari masing-masing pelaku usaha mengenai etika
bisnis berbeda-beda selama ini, maka implementasinyapun berbeda pula,
Keberadaan etika dan moral pada diri seseorang atau sekelompok orang
sangat tergantung pada kualitas sistem kemasyarakatan yang melingkupinya.
Walaupun seseorang atau sekelompok orang dapat mencoba mengendalikan
kualitas etika dan moral mereka, tetapi sebagai sebuah variabel yang sangat rentan
terhadap pengaruh kualitas sistem kemasyarakatan, kualitas etika dan moral
seseorang atau sekelompok orang sewaktu-waktu dapat berubah. Baswir (2004)
berpendapat bahwa pembicaraan mengenai etika dan moral bisnis sesungguhnya
tidak terlalu relevan bagi Indonesia. Jangankan masalah etika dan moral, masalah
tertib hukum pun masih belum banyak mendapat perhatian. Sebaliknya, justru
sangat lumrah di negeri ini untuk menyimpulkan bahwa berbisnis sama artinya
dengan menyiasati hukum. Akibatnya, para pebisnis di Indonesia tidak dapat lagi
membedakan antara batas wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum. Wilayah
etika dan moral adalah sebuah wilayah pertanggungjawaban pribadi. Sedangkan
wilayah hukum adalah wilayah benar dan salah yang harus dipertanggungjawabkan
di depan pengadilan. Akan tetapi memang itulah kesalahan kedua dalam memahami
masalah etika dan moral di Indonesia. Pencampuradukan antara wilayah etika dan
moral dengan wilayah hukum seringkali menyebabkan kebanyakan orang Indonesia

tidak bisa membedakan antara perbuatan yang semata-mata tidak sejalan dengan
kaidah-kaidah etik dan moral, dengan perbuatan yang masuk kategori perbuatan
melanggar hukum. Sebagai misal, sama sekali tidak dapat dibenarkan bila masalah
korupsi masih didekati dari sudut etika dan moral. Karena masalah korupsi sudah
jelas dasar hukumnya, maka masalah itu haruslah didekati secara hukum. Demikian
halnya dengan masalah penggelapan pajak, pencemaran lingkungan, dan
pelanggaran hak asasi manusia.
BERBISNIS DENGAN ETIKA
Epistemologi Etika Bisnis
Menurut Kamus Inggris Indonesia Oleh Echols and Shadily (1992: 219),
Moral = moral, akhlak, susila (su=baik, sila=dasar, susila=dasar-dasar kebaikan);
Moralitas = kesusilaan; Sedangkan Etik (Ethics) = etika, tata susila. Sedangkan
secara etika (ethical) diartikan pantas, layak, beradab, susila. Jadi kata moral dan
etika penggunaannya sering dipertukarkan dan disinonimkan, yang sebenarnya
memiliki makna dan arti berbeda. Moral dilandasi oleh etika, sehingga orang yang
memiliki moral pasti dilandasi oleh etika. Demikian pula perusahaan yang memiliki
etika bisnis pasti manajernya dan segenap karyawan memiliki moral yang baik.
Uno (2004) membedakan pengertian etika dengan etiket. Etiket (sopan
santun) berasal dari bahasa Prancis etiquette yang berarti tata cara pergaulan yang
baik antara sesama menusia. Sementara itu etika, berasal dari bahasa Latin, berarti
falsafah moral dan merupakan cara hidup yang benar dilihat dari sudut budaya,
susila, dan agama.
Jika kata etika dikaitkan dengan kata bisnis akan menjadi Etika Binis
(business ethics). Steade et al (1984: 701) dalam bukunya ”Business, Its Natura and
Environment An Introduction” memberi batasan yakni, ”business ethics is ethical
standards that concern both the ends and means of business decision making”.
Definisi etika bisnis menurut Business & Society - Ethics and Stakeholder
Management (Caroll & Buchholtz, ?: dalam Iman, 2006):
Ethics is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and
obligation. Ethics can also be regarded as a set of moral principles or values.
Morality is a doctrine or system of moral conduct. Moral conduct refers to that which
relates to principles of right and wrong in behavior. Business ethics, therefore, is
concerned with good and bad or right and wrong behavior that takes place within a
business context. Concepts of right and wrong are increasingly being interpreted

today to include the more difficult and subtle questions of fairness, justice, and
equity.
Sim (2003) dalam bukunya Ethics and Corporate Social Responsibility - Why
Giants Fall, menyebutkan:
Ethics is a philosophical term derived from the Greek word “ethos,” meaning
character or custom. This definition is germane to effective leadership in
organizations in that it connotes an organization code conveying moral integrity and
consistent values in service to the public.
Jadi, ada beberapa kata kunci di sini, yaitu:
Ethics: Is the discipline that deals with what is good and bad and with moral
duty and obligation, can also be regarded as a set of moral principles or
values.
Ethical behavior: Is that which isaccepted as morally “good” and “right” as
opposed to “bad” or “wrong” in a particular setting.
Morality: A system or doctrine of moral conduct which refers to principles of
right and wrong in behavior.
Etika bisnis sendiri terbagi dalam:
Normative ethics: Concerned with supplying and justifying a coherent moral
system of thinking and judging. Normative ethics seeks to uncover, develop,
and justify basic moral principles that are intended to guide behavior, actions,
and decisions (DeGeorge, 2002)
Descriptive ethics: Is concerned with describing, characterizing, and studying
the morality of a people, a culture, or a society. It also compares and contrasts
different moral codes, systems, practices, beliefs, and values (Bunchholtz and
Rosenthal, 1998).
Memang diakui oleh Steade et al. (1984: 584) bahwa menunjuk sesuatu
secara tepat yang merupakan perilaku bisnis secara etik bukanlah suatu tugas
gampang. Dalam hal ini, beberapa penduduk menyamakan perilaku secara etik
(ethical behavior) dengan perilaku legal (legal behavior) – yaitu, jika suatu tindakan
adalah legal (syah), mereka harus dapat diterima. Kebanyakan penduduk, termasuk
manajer, mengakui bahwa batas-batas legal pada bisnis harus dipatuhi. Namun,
mereka melihat batas-batas legal ini sebagai suatu titik pemberangkatan untuk
perilaku bisnis dan tindakan manajerial. Secara nyata, perilaku bisnis beretika
merefleksikan hukum ditambah tindakan etika masyarakat, moral (kesusilaan), dan
nilia-nilai seperti digambarkan pada Gambar 1. Pada gilirannya formulasi hukum
mengikuti suatu tindak-tanduk etika masyarakat dan hasilnya secara per lahan

muncul dua, yaitu adanya suatu hubungan ”give-and take” antara apa yang ”legal”
dan apa yang ”cara etik”.
= +
Gambar 1
Elemen-Elemen Perilaku Bisnis Beretika
[Sumber: Steade et al. (1984: 584)]
Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan ”kebaikan
(rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari kelakuan manusia. Kata etik juga
berhubungan dengan objek kelakuan manusia di wilayah-wilayah tertentu, seperti
etika kedokteran, etika bisnis, etika profesional (advokat, akuntan) dan lain-lain. Disni
ditekankan pada etika sebagai objek perilaku manusia dalam bidang bisnis. Dalam
pengertian ini etika diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari
perilaku yang diterima masyarakat sebagai ”baik (good) atau buruk (bad)”. Catatan
tanda kutip pada kata-kata baik dan buruk, yang berarti menekankan bahwa
penentuan baik dan buruk adalah suatu masalah selalu berubah. Akhirnya,
keputusan bahwa manajer membuat tentang pertanyaan yang bekaitan dengan etika
adalah keputusan secara individual, yang menimbulkan konskuensi. Keputusan ini
merefleksikan banyak faktor, termasuk moral dan nilai-nilai individu dan masyarakat.
Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan main yang
tidak mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus diingat dalam praktek bisnis
sehari-hari etika bisnis dapat menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankan.
Etika bisnis sangat penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen
lainnya. Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang maupun
badan hukum sebagai pemasok, pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain
(Dalimunthe, 2004).
Etika dan moral (moralitas) sering digunakan secara bergantian dan
dipertukarkan karena memiliki arti yang mirip. Ini mungkin karena kata Greek ethos
SOCIAL
ACCEPTABLE
OR
“ETHICAL”
BUSINESS
BEHAVIOR
LEGAL
BEHAVIOR
BEHAVIOR
GOVERNED BY
SOCIETAL:
• VALUES
• MORALS
• ETHICS
(WHICH ARE
RESUMED ALSO
TO BE LEGAL)

dari mana ”ethics” berasal dan kata latin mores dari mana ”morals” diturunkan
keduanya artinya kebiasaan (habit) atau custom (adat). Namun moral (morals)
berbeda dari etika (ethics), yang mana di dalam moralitas terkandung suatu elemenelemen
normatif yang tidak dapat dielakkan/dihindari (inevitable normative
elements). Dengan demikian, moral berhubungan dengan pembicaraan tidak hanya
apa yang dikerjakan, tapi juga apa masyarakat seharusnya dikerjakan dan
dipercaya. Elemen-elemen normatif ini, atau ”keharusan (oughtness)”, konflik
dengan aspek-aspek perubahan etika bisnis.
Nilai-nilai (values) adalah standar kultural dari perilaku yang diputuskan
sebagai petunjuk bagi pelaku bisnis dalam mencapai dan mengejar tujuan. Dengan
demikian, pelaku bisnis menggunakan nilai-nilai dalam pembuatan keputusan secara
etik apakah mereka menyadarinya atau tidak. Semakin lama, manajer bisnis
ditantang meningkatkan sensitivitas mereka terhadap permasalahan etika. Mereka
menekankan pada evaluasi secara kritis prioritas nilai-nilai mereka untuk melihat
bagaimana ini pantas dengan realitas dan harapan organisasi dan masyarakat.
Etika Bisnis: Suatu Kerangka Global
Masalah etika dalam bisnis dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori
yaitu: Suap (Bribery), Paksaan (Coercion), Penipuan (Deception), Pencurian (Theft),
Diskriminasi tidak jelas (Unfair discrimination)(lihat Nofielman, ?), yang masingmasing
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Suap (Bribery), adalah tindakan berupa menawarkan, memberi, menerima, atau
meminta sesuatu yang berharga dengan tujuan mempengaruhi tindakan seorang
pejabat dalam melaksanakan kewajiban publik. Suap dimaksudkan untuk
memanipulasi seseorang dengan membeli pengaruh. 'Pembelian' itu dapat
dilakukan baik dengan membayarkan sejumlah uang atau barang, maupun
'pembayaran kembali' setelah transaksi terlaksana. Suap kadangkala tidak
mudah dikenali. Pemberian cash atau penggunaan callgirls dapat dengan mudah
dimasukkan sebagai cara suap, tetapi pemberian hadiah (gift) tidak selalu dapat
disebut sebagai suap, tergantung dari maksud dan respons yang diharapkan oleh
pemberi hadiah.
2. Paksaan (Coercion), adalah tekanan, batasan, dorongan dengan paksa atau
dengan menggunakan jabatan atau ancaman. Coercion dapat berupa ancaman
untuk mempersulit kenaikan jabatan, pemecatan, atau penolakan industri
terhadap seorang individu.

3. Penipuan (Deception), adalah tindakan memperdaya, menyesatkan yang
disengaja dengan mengucapkan atau melakukan kebohongan.
4. Pencurian (Theft), adalah merupakan tindakan mengambil sesuatu yang bukan
hak kita atau mengambil property milik orang lain tanpa persetujuan pemiliknya.
Properti tersebut dapat berupa property fisik atau konseptual.
5. Diskriminasi tidak jelas (Unfair discrimination), adalah perlakuan tidak adil
atau penolakan terhadap orang-orang tertentu yang disebabkan oleh ras, jenis
kelamin, kewarganegaraan, atau agama. Suatu kegagalan untuk memperlakukan
semua orang dengan setara tanpa adanya perbedaan yang beralasan antara
mereka yang 'disukai' dan tidak.
Pentingnya Etika dalam Dunia Bisnis
Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar
tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Langkah apa yang harus ditempuh?.
Didalam bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara.
Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan.
Kalau sudah demikian, pengusaha yang menjadi pengerak motor perekonomian
akan berubah menjadi binatang ekonomi. Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia
bisnis tampaknya tidak menampakan kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari
semakin meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan kepentingan
masyarakat, tidak memperhatikan sumber daya alam maupun tindakan kolusi dan
suap merupakan
segelintir contoh pengabaian para pengusaha terhadap etika bisnis.
Sebagai bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang
ada pada masyarakat. Tata hubungan bisnis dan masyarakat yang tidak bisa
dipisahkan itu membawa serta etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik
etika itu antara sesama pelaku bisnis maupun etika bisnis terhadap masyarakat
dalam hubungan langsung maupun tidak langsung.
Dengan memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu dapat dilihat
bahwa prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat
interaktif. Hubungan ini tidak hanya dalam satu negara, tetapi meliputi berbagai
negara yang terintegrasi dalam hubungan perdagangan dunia yang nuansanya kini
telah berubah. Perubahan nuansa perkembangan dunia itu menuntut segera
dibenahinya etika bisnis. Pasalnya, kondisi hukum yang melingkupi dunia usaha
terlalu jauh tertinggal dari pertumbuhan serta perkembangan dibidang ekonomi.
10
Jalinan hubungan usaha dengan pihak-pihak lain yang terkait begitu
kompleks. Akibatnya, ketika dunia usaha melaju pesat, ada pihak-pihak yang
tertinggal dan dirugikan, karena peranti hukum dan aturan main dunia usaha belum
mendapatkan perhatian yang seimbang. Salah satu contoh yang selanjutnya
menjadi masalah bagi pemerintah dan dunia usaha adalah masih adanya
pelanggaran terhadap upah buruh. Hal lni menyebabkan beberapa produk nasional
terkena batasan di pasar internasional. Contoh lain adalah produk-produk hasil hutan
yang mendapat protes keras karena pengusaha Indonesia dinilai tidak
memperhatikan kelangsungan sumber alam yang sangat berharga.
Perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam
sebuah bisnis. Pentingnya etika bisnis tersebut berlaku untuk kedua perspektif, baik
lingkup makro maupun mikro, yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Perspektif Makro. Pertumbuhan suatu negara tergantung pada market
system yang berperan lebih efektif dan efisien daripada command system dalam
mengalokasikan barang dan jasa. Beberapa kondisi yang diperlukan market system
untuk dapat efektif, yaitu: (a) Hak memiliki dan mengelola properti swasta; (b)
Kebebasan memilih dalam perdagangan barang dan jasa; dan (c) Ketersediaan
informasi yang akurat berkaitan dengan barang dan jasa Jika salah satu subsistem
dalam market system melakukan perilaku yang tidak etis, maka hal ini akan
mempengaruhi keseimbangan sistem dan menghambat pertumbuhan sistem secara
makro.
Pengaruh dari perilaku tidak etik pada perspektif bisnis makro :
a. Penyogokan atau suap. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya kebebasan
memilih dengan cara mempengaruhi pengambil keputusan.
b. Coercive act. Mengurangi kompetisi yang efektif antara pelaku bisnis dengan
ancaman atau memaksa untuk tidak berhubungan dengan pihak lain dalam bisnis.
c. Deceptive information
d. Pecurian dan penggelapan
e. Unfair discrimination.
2. Perspektif Bisnis Mikro. Dalam Iingkup ini perilaku etik identik dengan
kepercayaan atau trust. Dalam Iingkup mikro terdapat rantai relasi di mana supplier,
perusahaan, konsumen, karyawan saling berhubungan kegiatan bisnis yang akan
berpengaruh pada Iingkup makro. Tiap mata rantai penting dampaknya untuk selalu
menjaga etika, sehingga kepercayaan yang mendasari hubungan bisnis dapat terjaga
dengan baik.

Standar moral merupakan tolok ukur etika bisnis. Dimensi etik merupakan
dasar kajian dalam pengambilan keputusan. Etika bisnis cenderung berfokus pada
etika terapan daripada etika normatif. Dua prinsip yang dapat digunakan sebagai
acuan dimensi etik dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1) Prinsip konsekuensi
(Principle of Consequentialist) adalah konsep etika yang berfokus pada konsekuensi
pengambilan keputusan. Artinya keputusan dinilai etik atau tidak berdasarkan
konsekuensi (dampak) keputusan tersebut; (2) Prinsip tidak konsekuensi (Principle
of Nonconsequentialist) adalah terdiri dari rangkaian peraturan yang digunakan
sebagai petunjuk/panduan pengambilan keputusan etik dan berdasarkan alasan
bukan akibat, antara lain: (a) Prinsip Hak, yaitu menjamin hak asasi manusia yang
berhubungan dengan kewajiban untuk tidak saling melanggar hak orang lain; (b)
Prinsip Keadilan, yaitu keadilan yang biasanya terkait dengan isu hak, kejujuran,
dan kesamaan.
Prinsip keadilan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: (1) Keadilan
distributive, yaitu keadilan yang sifatnya menyeimbangkan alokasi benefit dan
beban antar anggota kelompok sesuai dengan kontribusi tenaga dan pikirannya
terhadap benefit. Benefit terdiri dari pendapatan, pekerjaan, kesejahteraan,
pendidikan dan waktu luang. Beban terdiri dari tugas kerja, pajak dan kewajiban
social; (2) Keadilan retributive, yaitu keadilan yang terkait dengan retribution (ganti
rugi) dan hukuman atas kesalahan tindakan. Seseorang bertanggungjawab atas
konsekuensi negatif atas tindakan yang dilakukan kecuali tindakan tersebut
dilakukan atas paksaan pihak lain; dan (3) Keadilan kompensatoris, yaitu keadilan
yang terkait dengan kompensasi bagi pihak yang dirugikan. Kompensasi yang
diterima dapat berupa perlakuan medis, pelayanan dan barang penebus kerugian.
Masalah terjadi apabila kompensasi tidak dapat menebus kerugian, misalnya
kehilangan nyawa manusia.
Apabila moral merupakan suatu pendorong orang untuk melakukan kebaikan,
maka etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan
secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan
mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan
bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi. Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu
kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya
kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan
dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang
yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Tentu

dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang
transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun
bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara
pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait
yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya moral dan etika, jelas apa yang
disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas
untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya
kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat
global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam
perekonomian.
Dalam menciptakan etika bisnis, Dalimunthe (2004) menganjurkan untuk
memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Pengendalian Diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis mampu mengendalikan diri mereka masingmasing
untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun.
Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan
main curang atau memakan pihak lain dengan menggunakan keuntungan tersebut.
Walau keuntungan yang diperoleh merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi
penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah
etika bisnis yang "etik".
2. Pengembangan Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan
hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih
kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis
untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand
harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak
memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi,
dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan
memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya. Tanggung
jawab sosial bisa dalam bentuk kepedulian terhadap masyarakat di sekitarnya,
terutama dalam hal pendidikan, kesehatan, pemberian latihan keterampilan, dll.

3. Mempertahankan Jati Diri
Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh
pesatnya perkembangan informasi dan teknologi adalah salah satu usaha
menciptakan etika bisnis. Namun demikian bukan berarti etika bisnis anti
perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus
dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak
kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4. Menciptakan Persaingan yang Sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan
kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya
harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah
kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu
memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam
menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia
bisnis tersebut.
5. Menerapkan Konsep “Pembangunan Berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat
sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa datang.
Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan
keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan
dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk
memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari Sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan
Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak
akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk
permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan
nama bangsa dan negara.

7. Mampu Menyatakan yang Benar itu Benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit
(sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan
"katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah.
Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi"
kepada pihak yang terkait.
8. Menumbuhkan Sikap Saling Percaya antar Golongan Pengusaha
Untu menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada sikap saling
percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha
lemah, sehingga pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan
pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu
hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan
kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia
bisnis.
9. Konsekuen dan Konsisten dengan Aturan main Bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana
apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut.
Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada
"oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan
"kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan
"gugur" satu semi satu.
10. Memelihara Kesepakatan
Memelihara kesepakatan atau menumbuhkembangkan Kesadaran dan rasa
Memiliki terhadap apa yang telah disepakati adalah salah satu usaha menciptakan
etika bisnis. Jika etika ini telah dimiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan
suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Menuangkan ke dalam Hukum Positif
Perlunya sebagian etika bisnis dituangkan dalam suatu hukum positif yang
menjadi Peraturan Perundang-Undangan dimaksudkan untuk menjamin kepastian
hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah.
Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah

dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya
perkembangan globalisasi dimuka bumi ini. Dengan adanya moral dan etika dalam
dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang
itu akan dapat diatasi.
Ahli pemberdayaan kepribadian Uno (2004) menjelaskan bahwa
mempraktikkan bisnis dengan etiket berarti mempraktikkan tata cara bisnis yang
sopan dan santun sehingga kehidupan bisnis menyenangkan karena saling
menghormati. Etiket berbisnis diterapkan pada sikap kehidupan berkantor, sikap
menghadapi rekan-rekan bisnis, dan sikap di mana kita tergabung dalam organisasi.
Itu berupa senyum -- sebagai apresiasi yang tulus dan terima kasih, tidak
menyalahgunakan kedudukan, kekayaan, tidak lekas tersinggung, kontrol diri,
toleran, dan tidak memotong pembicaraan orang lain. Dengan kata lain, etiket bisnis
itu memelihara suasana yang menyenangkan, menimbulkan rasa saling menghargai,
meningkatkan efisiensi kerja, dan meningkatkan citra pribadi dan perusahaan.
Sedangkan berbisnis dengan etika bisnis adalah menerapkan aturan-aturan umum
mengenai etika pada perilaku bisnis. Etika bisnis menyangkut moral, kontak sosial,
hak-hak dan kewajiban, prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Jika aturan secara umum
mengenai etika mengatakan bahwa berlaku tidak jujur adalah tidak bermoral dan
beretika, maka setiap insan bisnis yang tidak berlaku jujur dengan pegawainya,
pelanggan, kreditur, pemegang usaha maupun pesaing dan masyarakat, maka ia
dikatakan tidak etis dan tidak bermoral. Intinya adalah bagaimana kita mengontrol
diri kita sendiri untuk dapat menjalani bisnis dengan baik dengan cara peka dan
toleransi.
Tiga Prinsip Universal
Kasus yang paling gampang adalah Enron, sebuah perusahaan enerji yang
sangat bagus. Sebagai salah satu perusahaan yang menikmati booming industri
energi di tahun 1990an, Enron sukses menyuplai energi ke pangsa pasar yang
begitu besar dan memiliki jaringan yang luar biasa luas. Enron bahkan berhasil
menyinergikan jalur transmisi energinya untuk jalur teknologi informasi. Kalau dilihat
dari siklus bisnisnya, Enron memiliki profitabilitas yang cukup menggiurkan. Seiring
booming industri energi, Enron memosisikan dirinya sebagai energy merchants:
membeli natural gas dengan harga murah, kemudian dikonversi dalam energi listrik,
lalu dijual dengan mengambil profit yang lumayan dari markup sale of power atau
biasa disebut “spark spread“.

Sebagai sebuah entitas bisnis, Enron pada awalnya adalah anggota pasar
yang baik, mengikuti peraturan yang ada di pasar dengan sebagaimana mestinya.
Pada akhirnya, Enron meninggalkan prestasi dan reputasi baik tersebut. Sebagai
perusahaan Amerika terbesar kedelapan, Enron kemudian tersungkur kolaps pada
tahun 2001. Tepat satu tahun setelah California energy crisis. Seleksi alam akhirnya
berlaku. Perusahaan yang bagus akan mendapat reward, sementara yang buruk
akan mendapat punishment. Termasuk juga pihak-pihak yang mendukung
tercapainya hal tersebut — dalam hal ini Arthur Andersen.
Bisa saja kita menipu seseorang, tetapi tak akan mungkin selamanya menipu,
kan? Apa enaknya hidup penuh tipu-tipu yang tidak akan pernah menentramkan
batin. Kasus Enron membuktikan bahwa pelaku bisnis yang curang akan menunggu
waktu saja masuk jurang, sedangkan yang jujur tidak akan pernah hancur dan
menunggu waktu saja untuk mujur. Hal ini dijastifikasi oleh hukum besi yang tidak
bisa dielakkan oleh siapan karena menyangkut nasib manusia, termasuk pelakupelaku
bisnis kotor atau tidak beretika yang penuh tipu-tipu yaitu, ”Hukum Sebab-
Akibat”, ”Aksi-Reaksi”, dan ”Menabur-Menuai” adalah kebenaran sepanjang zaman,
prinsip universal yang telah ada sejak awal sejarah. Dalam Agama Hindu
rangkuman ketiga hukum besi ini tidak lain adalah ”Karma- Pahala”, di mana Karma
= Sebab, Aksi, Menabur, dan Pahala = Akibat, Reaksi, Menuai. Artinya, apapun yang
diperbuat oleh seseorang, kelak itulah yang Dia petik. Jika seseorang berbuat jahat
terhadap orang lain, maka hasil kejahatan yang akan mereka nikmati, sebaliknya jika
perbuatan baik mereka taburkan maka hasil perbuatan baik yang akan mereka tuai
atau hasilkan.
P E N U T U P
1. Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan ”kebaikan
(rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari perilaku manusia. Dalam pengertian
ini etika diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku
yang diterima masyarakat sebagai ”baik (good” atau buruk (bad)”. Sedangkan
Penentuan baik dan buruk adalah suatu masalah selalu berubah.
2. Etika bisnis adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan
manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan
mengoperasikan bisnis yang etik.
3. Paradigma etika dan bisnis adalah dunia yang berbeda sudah saatnya dirubah
menjadi paradigma etika terkait dengan bisnis atau mensinergikan antara etika

dengan laba. Justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi perusahaan yang
baik yang dilandasi oleh etika bisnis merupakan sebuah competitive advantage
yang sulit ditiru. Oleh karena itu, perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai
sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis.
DAFTAR PUSTAKA
Baswir, Revrisond. 2004. Etika Bisnis. Dalam Kompas Senin, 08 Maret 2004.
Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Buchholtz, R.A and S. B. Rosenthal. 1998. Business Ethics. Upper Saddle River,
N.J.: Prentice Hall.
Dalimunthe, Rita F. 2004. Etika Bisnis. Dalam Website Google: Etika Bisnis dan
Pengembangan Iptek.
DeGeorge, R. 2002. Business Ethics. Upper Saddle River, N.J.: Prentice-Hall, 5 th
Ed.
Echols, John M and Shadily, Hasan. 1992. Kamus Inggris Indonesia. Penerbit PT
Gramedia, Jakarta.
Hatta, Mohammad. 1960. Pengantar ke Djalan Ilmu dan Pengetahuan. PT.
Pembangunan Djakarta. 31 Hal.
It Pin. 2006. Etika dan Bisnis. Dalam Kompas, Jumat 30 Juni 2006.
Mulkhan, Abdul Munir. 2005. Etika Welas Asih dan Reformasi Sosial Budaya Kiai
Ahmad Dahlan. Dalam Kompas 1 Oktober 2005. Penerbit PT Gramedia,
Jakarta.
Nofie, lman, Nofie ?, Pengantar Etika Bisnis. Dalam Website Google: Etika Bisnis
dan Pengembangan Iptek.
Nofie, Iman. 2006. Etika Bisnis dan Bisnis Beretika. Dalam Website Google: Etika
Bisnis dan Pengembangan Iptek.
Rukmana. 2004. Etika Bisnis dalam Prinsip Ekonomi Syariah. Makalah Disajikan
pada Seminar “Etika Bisnis Dalam Pandangan Islam” yang Diselenggarakan
oleh Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Cabang Bandung, sabtu 6 Maret
2004.
Sims, R. 2003. Ethics and Corporate Social Responsibility - Why Giants Fall. C.T.
Greenwood Press.
Steade, Richard D.; Lowry James R., and Gloss, Raymond E. 1984. BUSINESS, Its
Nature and Environment An Introduction. South-Western Publishing Co,
Cincinnati-Palo Alto, California.729 p.
Sularto, St. 2002. Pengembangan Iptek tidak Bisa Liar. Dalam Kompas, Minggu 21
April 2002. Penerbit Pt Gramedia, Jakarta.
Suria Sumantri, Yuyun. 2005. Pengantar Filsafat Ilmu. Penerbit PT Sinar Harapan,
Jakarta.
Uno, Mien R. 2004. Jangan Bernapas dalam Lumpur. Dalam Website Google: Etika
Bisnis dan Pengembangan Iptek.