ETIKA
DALAM BISNIS
Permasalahan
Etika dalam Bisnis
Beberapa
hari terakhir ada dua berita yang mempertanyakan apakah etika
dan
bisnis berasal dari dua dunia berlainan. Pertama, melubernya lumpur dan gas
panas
di Kabupaten Sidoarjo yang disebabkan eksploitasi gas PT Lapindo Brantas.
Kedua,
obat antinyamuk HIT yang diketahui memakai bahan pestisida berbahaya
yang
dilarang penggunaannya sejak tahun 2004. Dalam kasus Lapindo, bencana
memaksa
penduduk harus ke rumah sakit. Perusahaan pun terkesan lebih
mengutamakan
penyelamatan aset-asetnya daripada mengatasi soal lingkungan dan
sosial
yang ditimbulkan. Pada kasus HIT, meski perusahaan pembuat sudah
meminta
maaf dan berjanji akan menarik produknya, ada kesan permintaan maaf itu
klise.
Penarikan produk yang kandungannya bisa menyebabkan kanker itu terkesan
tidak
sungguh-sungguh dilakukan. Produk berbahaya itu masih beredar di pasaran.
Atas
kasus-kasus itu, kedua perusahaan terkesan melarikan diri dari tanggung
jawab.
Sebelumnya, kita semua dikejutkan dengan pemakaian formalin pada
pembuatan
tahu dan pengawetan ikan laut serta pembuatan terasi dengan bahan
yang
sudah berbelatung.
Dari
kasus-kasus yang disebutkan sebelumnya, bagaimana perusahaan
bersedia
melakukan apa saja demi laba. Wajar bila ada kesimpulan, dalam bisnis,
satu-satunya
etika yang diperlukan hanya sikap baik dan sopan kepada pemegang
saham.
Harus diakui, kepentingan utama bisnis adalah menghasilkan keuntungan
maksimal
bagi shareholders. Fokus itu membuat perusahaan yang berpikiran pendek
dengan
segala cara berupaya melakukan hal-hal yang bisa meningkatkan
keuntungan.
Kompetisi semakin ketat dan konsumen yang kian rewel sering menjadi
faktor
pemicu perusahaan mengabaikan etika dalam berbisnis.
Namun,
belakangan beberapa akademisi dan praktisi bisnis melihat
adanya
hubungan sinergis antara etika dan laba. Menurut mereka, justru di era
kompetisi
yang ketat ini, reputasi baik merupakan sebuah competitive advantage
yang
sulit ditiru. Salah satu kasus yang sering dijadikan acuan adalah bagaimana
Johnson
& Johnson (J&J) menangani kasus keracunan Tylenol tahun 1982. Pada
kasus
itu, tujuh orang dinyatakan mati secara misterius setelah mengonsumsi
Tylenol
di Chicago. Setelah diselidiki, ternyata Tylenol itu mengandung racun
sianida.
Meski penyelidikan masih dilakukan guna mengetahui pihak yang
bertanggung
jawab, J&J segera menarik 31 juta botol Tylenol di pasaran dan
mengumumkan
agar konsumen berhenti mengonsumsi produk itu hingga
pengumuman
lebih lanjut. J&J bekerja sama dengan polisi, FBI, dan FDA (BPOMnya
Amerika
Serikat) menyelidiki kasus itu. Hasilnya membuktikan, keracunan itu
disebabkan
oleh pihak lain yang memasukkan sianida ke botol-botol Tylenol. Biaya
yang
dikeluarkan J&J dalam kasus itu lebih dari 100 juta dollar AS. Namun,
karena
kesigapan
dan tanggung jawab yang mereka tunjukkan, perusahaan itu berhasil
membangun
reputasi bagus yang masih dipercaya hingga kini. Begitu kasus itu
diselesaikan,
Tylenol dilempar kembali ke pasaran dengan penutup lebih aman dan
produk
itu segera kembali menjadi pemimpin pasar (market leader) di Amerika
Serikat.
Secara
jangka panjang, filosofi J&J yang meletakkan keselamatan konsumen
di
atas kepentingan perusahaan berbuah keuntungan lebih besar kepada
perusahaan.
Doug Lennick dan Fred Kiel, 2005 (dalam Itpin, 2006) penulis buku
Moral
Intelligence, berargumen bahwa perusahaan-perusahaan
yang memiliki
pemimpin
yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih
sukses
dalam jangka panjang. Hal sama juga
dikemukakan miliuner Jon M
Huntsman,
2005 (dalam Itpin, 2006) dalam buku Winners Never Cheat. Dikatakan,
kunci
utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha yang
memegang
teguh integritas dan kepercayaan pihak lain.
Berkaca pada beberapa
contoh
kasus itu, sudah saatnya kita merenungkan kembali cara pandang lama yang
melihat
etika dan bisnis sebagai dua hal berbeda. Memang beretika dalam bisnis
tidak
akan memberi keuntungan segera. Karena itu, para pengusaha dan praktisi
bisnis
harus belajar untuk berpikir jangka panjang. Peran masyarakat, terutama
melalui
pemerintah, badan-badan pengawasan, LSM, media, dan konsumen yang
kritis
amat dibutuhkan untuk membantu meningkatkan etika bisnis berbagai
perusahaan
di Indonesia.
Sebuah
studi selama dua tahun yang dilakukan The Performance Group,
sebuah
konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical
Industries,
Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa
pengembangan
produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental
compliance
bisa menaikkan EPS (earning
per share) perusahaan, mendongkrak
profitability,
dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan
investasi.
Di tahun 1999, jurnal Business and Society Review menulis bahwa 300
perusahaan
besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang
berlandaskan
pada kode etik akan meningkatkan market value added sampai duatiga
kali
daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa. Bukti lain,
seperti
riset yang dilakukan oleh DePaul University di tahun 1997 menemukan
bahwa
perusahaan yang merumuskan komitmen korporat mereka dalam
menjalankan
prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan
tahunan/revenue)
yang lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal
serupa
(lihat Iman, 2006).
Praktik
Bisnis Masih Abaikan Etika
Rukmana
(2004) menilai praktik bisnis yang dijalankan selama ini masih
cenderung
mengabaikan etika, rasa keadilan dan kerapkali diwarnai praktik-praktik
bisnis
tidak terpuji atau moral hazard. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang
semakin
meluas
di masyarakat yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan sekarang meluas
sampai
ke daerah-daerah, dan meminjam istilah guru bangsa yakni Gus Dur,
korupsi
yang sebelumnya di bawah meja, sekarang sampai ke meja-mejanya
dikorupsi
adalah bentuk moral hazard di kalangan ekit politik dan elit birokrasi.
Hal ini
mengindikasikan
bahwa di sebagian masyarakat kita telah terjadi krisis moral dengan
menghalalkan
segala mecam cara untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu
memperkaya
diri sendiri maupun tujuan kelompok untuk eksistensi keberlanjutan
kelompok.
Terapi ini semua adalah pemahaman, implementasi dan investasi etika
dan
nilai-nilai moral bagi para pelaku bisnis dan para elit politik.
Dalam
kaitan dengan etika bisnis, terutama bisnis berbasis syariah,
pemahaman
para pelaku usaha terhadap ekonomi syariah selama ini masih
cenderung
pada sisi "emosional" saja dan terkadang mengkesampingkan konteks
bisnis
itu sendiri. Padahal segmen pasar dari ekonomi syariah cukup luas, baik itu
untuk
usaha perbankan maupun asuransi syariah. Dicontohkan, segmen pasar
konvensional,
meski tidak "mengenal" sistem syariah, namun potensinya cukup
tinggi.
Mengenai implementasi etika bisnis tersebut, Rukmana mengakui beberapa
pelaku
usaha memang sudah ada yang mampu menerapkan etika bisnis tersebut.
Namun,
karena pemahaman dari masing-masing pelaku usaha mengenai etika
bisnis
berbeda-beda selama ini, maka implementasinyapun berbeda pula,
Keberadaan
etika dan moral pada diri seseorang atau sekelompok orang
sangat
tergantung pada kualitas sistem kemasyarakatan yang melingkupinya.
Walaupun
seseorang atau sekelompok orang dapat mencoba mengendalikan
kualitas
etika dan moral mereka, tetapi sebagai sebuah variabel yang sangat rentan
terhadap
pengaruh kualitas sistem kemasyarakatan, kualitas etika dan moral
seseorang
atau sekelompok orang sewaktu-waktu dapat berubah. Baswir (2004)
berpendapat
bahwa pembicaraan mengenai etika dan moral bisnis sesungguhnya
tidak
terlalu relevan bagi Indonesia. Jangankan masalah etika dan moral, masalah
tertib
hukum pun masih belum banyak mendapat perhatian. Sebaliknya, justru
sangat
lumrah di negeri ini untuk menyimpulkan bahwa berbisnis sama artinya
dengan
menyiasati hukum. Akibatnya, para pebisnis di Indonesia tidak dapat lagi
membedakan
antara batas wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum. Wilayah
etika
dan moral adalah sebuah wilayah pertanggungjawaban pribadi. Sedangkan
wilayah
hukum adalah wilayah benar dan salah yang harus dipertanggungjawabkan
di
depan pengadilan. Akan tetapi memang itulah kesalahan kedua dalam memahami
masalah
etika dan moral di Indonesia. Pencampuradukan antara wilayah etika dan
moral
dengan wilayah hukum seringkali menyebabkan kebanyakan orang Indonesia
tidak
bisa membedakan antara perbuatan yang semata-mata tidak sejalan dengan
kaidah-kaidah
etik dan moral, dengan perbuatan yang masuk kategori perbuatan
melanggar
hukum. Sebagai misal, sama sekali tidak dapat dibenarkan bila masalah
korupsi
masih didekati dari sudut etika dan moral. Karena masalah korupsi sudah
jelas
dasar hukumnya, maka masalah itu haruslah didekati secara hukum. Demikian
halnya
dengan masalah penggelapan pajak, pencemaran lingkungan, dan
pelanggaran
hak asasi manusia.
BERBISNIS
DENGAN ETIKA
Epistemologi
Etika Bisnis
Menurut
Kamus Inggris Indonesia Oleh Echols and Shadily (1992: 219),
Moral
= moral, akhlak, susila (su=baik,
sila=dasar, susila=dasar-dasar kebaikan);
Moralitas
= kesusilaan; Sedangkan Etik (Ethics) = etika, tata susila. Sedangkan
secara
etika (ethical) diartikan pantas, layak, beradab, susila. Jadi kata moral dan
etika
penggunaannya sering dipertukarkan dan disinonimkan, yang sebenarnya
memiliki
makna dan arti berbeda. Moral dilandasi oleh etika, sehingga orang yang
memiliki
moral pasti dilandasi oleh etika. Demikian pula perusahaan yang memiliki
etika
bisnis pasti manajernya dan segenap karyawan memiliki moral yang baik.
Uno
(2004) membedakan pengertian etika dengan etiket. Etiket (sopan
santun)
berasal dari bahasa Prancis etiquette yang berarti tata cara pergaulan
yang
baik
antara sesama menusia. Sementara itu etika, berasal dari bahasa Latin, berarti
falsafah
moral dan merupakan cara hidup yang benar dilihat dari sudut budaya,
susila,
dan agama.
Jika
kata etika dikaitkan dengan kata bisnis akan menjadi Etika Binis
(business
ethics). Steade et al (1984: 701) dalam bukunya ”Business, Its Natura and
Environment
An Introduction” memberi batasan yakni, ”business ethics is ethical
standards
that concern both the ends and means of business decision making”.
Definisi
etika bisnis menurut Business & Society - Ethics and Stakeholder
Management
(Caroll & Buchholtz, ?: dalam Iman, 2006):
Ethics
is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and
obligation.
Ethics can also be regarded as a set of moral principles or values.
Morality
is a doctrine or system of moral conduct. Moral conduct refers to that which
relates
to principles of right and wrong in behavior. Business ethics, therefore, is
concerned
with good and bad or right and wrong behavior that takes place within a
business
context. Concepts of right and wrong are increasingly being interpreted
today
to include the more difficult and subtle questions of fairness, justice, and
equity.
Sim
(2003) dalam bukunya Ethics and Corporate Social Responsibility - Why
Giants
Fall, menyebutkan:
Ethics
is a philosophical term derived from the Greek word “ethos,” meaning
character
or custom. This definition is germane to effective leadership in
organizations
in that it connotes an organization code conveying moral integrity and
consistent
values in service to the public.
Jadi,
ada beberapa kata kunci di sini, yaitu:
•
Ethics: Is the discipline that deals with what is good and bad and with
moral
duty
and obligation, can also be regarded as a set of moral principles or
values.
•
Ethical behavior: Is that which isaccepted as morally “good” and “right”
as
opposed
to “bad” or “wrong” in a particular setting.
•
Morality: A system or doctrine of moral conduct which refers to
principles of
right
and wrong in behavior.
Etika
bisnis sendiri terbagi dalam:
•
Normative ethics: Concerned with supplying and justifying a coherent
moral
system
of thinking and judging. Normative ethics seeks to uncover, develop,
and
justify basic moral principles that are intended to guide behavior, actions,
and
decisions (DeGeorge, 2002)
•
Descriptive ethics: Is concerned with describing, characterizing, and
studying
the
morality of a people, a culture, or a society. It also compares and contrasts
different
moral codes, systems, practices, beliefs, and values (Bunchholtz and
Rosenthal,
1998).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar