Permasalahan
Etika dalam Bisnis
Beberapa
hari terakhir ada dua berita yang mempertanyakan apakah etika
dan
bisnis berasal dari dua dunia berlainan. Pertama, melubernya lumpur dan gas
panas
di Kabupaten Sidoarjo yang disebabkan eksploitasi gas PT Lapindo Brantas.
Kedua,
obat antinyamuk HIT yang diketahui memakai bahan pestisida berbahaya
yang
dilarang penggunaannya sejak tahun 2004. Dalam kasus Lapindo, bencana
memaksa
penduduk harus ke rumah sakit. Perusahaan pun terkesan lebih
mengutamakan
penyelamatan aset-asetnya daripada mengatasi soal lingkungan dan
sosial
yang ditimbulkan. Pada kasus HIT, meski perusahaan pembuat sudah
meminta
maaf dan berjanji akan menarik produknya, ada kesan permintaan maaf itu
klise.
Penarikan produk yang kandungannya bisa menyebabkan kanker itu terkesan
tidak
sungguh-sungguh dilakukan. Produk berbahaya itu masih beredar di pasaran.
Atas
kasus-kasus itu, kedua perusahaan terkesan melarikan diri dari tanggung
jawab.
Sebelumnya, kita semua dikejutkan dengan pemakaian formalin pada
pembuatan
tahu dan pengawetan ikan laut serta pembuatan terasi dengan bahan
yang
sudah berbelatung.
Dari
kasus-kasus yang disebutkan sebelumnya, bagaimana perusahaan
bersedia
melakukan apa saja demi laba. Wajar bila ada kesimpulan, dalam bisnis,
satu-satunya
etika yang diperlukan hanya sikap baik dan sopan kepada pemegang
saham.
Harus diakui, kepentingan utama bisnis adalah menghasilkan keuntungan
maksimal
bagi shareholders. Fokus itu membuat perusahaan yang berpikiran pendek
dengan
segala cara berupaya melakukan hal-hal yang bisa meningkatkan
keuntungan.
Kompetisi semakin ketat dan konsumen yang kian rewel sering menjadi
faktor
pemicu perusahaan mengabaikan etika dalam berbisnis.
Namun,
belakangan beberapa akademisi dan praktisi bisnis melihat
adanya
hubungan sinergis antara etika dan laba. Menurut mereka, justru di era
kompetisi
yang ketat ini, reputasi baik merupakan sebuah competitive advantage
yang
sulit ditiru. Salah satu kasus yang sering dijadikan acuan adalah bagaimana
Johnson
& Johnson (J&J) menangani kasus keracunan Tylenol tahun 1982. Pada
kasus
itu, tujuh orang dinyatakan mati secara misterius setelah mengonsumsi
Tylenol
di Chicago. Setelah diselidiki, ternyata Tylenol itu mengandung racun
sianida.
Meski penyelidikan masih dilakukan guna mengetahui pihak yang
bertanggung
jawab, J&J segera menarik 31 juta botol Tylenol di pasaran dan
mengumumkan
agar konsumen berhenti mengonsumsi produk itu hingga
pengumuman
lebih lanjut. J&J bekerja sama dengan polisi, FBI, dan FDA (BPOMnya
Amerika
Serikat) menyelidiki kasus itu. Hasilnya membuktikan, keracunan itu
disebabkan
oleh pihak lain yang memasukkan sianida ke botol-botol Tylenol. Biaya
yang
dikeluarkan J&J dalam kasus itu lebih dari 100 juta dollar AS. Namun,
karena
kesigapan
dan tanggung jawab yang mereka tunjukkan, perusahaan itu berhasil
membangun
reputasi bagus yang masih dipercaya hingga kini. Begitu kasus itu
diselesaikan,
Tylenol dilempar kembali ke pasaran dengan penutup lebih aman dan
produk
itu segera kembali menjadi pemimpin pasar (market leader) di Amerika
Serikat.
Secara
jangka panjang, filosofi J&J yang meletakkan keselamatan konsumen
di
atas kepentingan perusahaan berbuah keuntungan lebih besar kepada
perusahaan.
Doug Lennick dan Fred Kiel, 2005 (dalam Itpin, 2006) penulis buku
Moral
Intelligence, berargumen bahwa perusahaan-perusahaan
yang memiliki
pemimpin
yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih
sukses
dalam jangka panjang. Hal sama juga
dikemukakan miliuner Jon M
Huntsman,
2005 (dalam Itpin, 2006) dalam buku Winners Never Cheat. Dikatakan,
kunci
utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha yang
memegang
teguh integritas dan kepercayaan pihak lain.
Berkaca pada beberapa
contoh
kasus itu, sudah saatnya kita merenungkan kembali cara pandang lama yang
melihat
etika dan bisnis sebagai dua hal berbeda. Memang beretika dalam bisnis
tidak
akan memberi keuntungan segera. Karena itu, para pengusaha dan praktisi
bisnis
harus belajar untuk berpikir jangka panjang. Peran masyarakat, terutama
melalui
pemerintah, badan-badan pengawasan, LSM, media, dan konsumen yang
kritis
amat dibutuhkan untuk membantu meningkatkan etika bisnis berbagai
perusahaan
di Indonesia.
Sebuah
studi selama dua tahun yang dilakukan The Performance Group,
sebuah
konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical
Industries,
Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa
pengembangan
produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental
compliance
bisa menaikkan EPS (earning
per share) perusahaan, mendongkrak
profitability,
dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan
investasi.
Di tahun 1999, jurnal Business and Society Review menulis bahwa 300
perusahaan
besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang
berlandaskan
pada kode etik akan meningkatkan market value added sampai duatiga
kali
daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa. Bukti lain,
seperti
riset yang dilakukan oleh DePaul University di tahun 1997 menemukan
bahwa
perusahaan yang merumuskan komitmen korporat mereka dalam
menjalankan
prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan
tahunan/revenue)
yang lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal
serupa
(lihat Iman, 2006).
Praktik
Bisnis Masih Abaikan Etika
Rukmana
(2004) menilai praktik bisnis yang dijalankan selama ini masih
cenderung
mengabaikan etika, rasa keadilan dan kerapkali diwarnai praktik-praktik
bisnis
tidak terpuji atau moral hazard. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang
semakin
meluas
di masyarakat yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan sekarang meluas
sampai
ke daerah-daerah, dan meminjam istilah guru bangsa yakni Gus Dur,
korupsi
yang sebelumnya di bawah meja, sekarang sampai ke meja-mejanya
dikorupsi
adalah bentuk moral hazard di kalangan ekit politik dan elit birokrasi.
Hal ini
mengindikasikan
bahwa di sebagian masyarakat kita telah terjadi krisis moral dengan
menghalalkan
segala mecam cara untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu
memperkaya
diri sendiri maupun tujuan kelompok untuk eksistensi keberlanjutan
kelompok.
Terapi ini semua adalah pemahaman, implementasi dan investasi etika
dan
nilai-nilai moral bagi para pelaku bisnis dan para elit politik.
Dalam
kaitan dengan etika bisnis, terutama bisnis berbasis syariah,
pemahaman
para pelaku usaha terhadap ekonomi syariah selama ini masih
cenderung
pada sisi "emosional" saja dan terkadang mengkesampingkan konteks
bisnis
itu sendiri. Padahal segmen pasar dari ekonomi syariah cukup luas, baik itu
untuk
usaha perbankan maupun asuransi syariah. Dicontohkan, segmen pasar
konvensional,
meski tidak "mengenal" sistem syariah, namun potensinya cukup
tinggi.
Mengenai implementasi etika bisnis tersebut, Rukmana mengakui beberapa
pelaku
usaha memang sudah ada yang mampu menerapkan etika bisnis tersebut.
Namun,
karena pemahaman dari masing-masing pelaku usaha mengenai etika
bisnis
berbeda-beda selama ini, maka implementasinyapun berbeda pula,
Keberadaan
etika dan moral pada diri seseorang atau sekelompok orang
sangat
tergantung pada kualitas sistem kemasyarakatan yang melingkupinya.
Walaupun
seseorang atau sekelompok orang dapat mencoba mengendalikan
kualitas
etika dan moral mereka, tetapi sebagai sebuah variabel yang sangat rentan
terhadap
pengaruh kualitas sistem kemasyarakatan, kualitas etika dan moral
seseorang
atau sekelompok orang sewaktu-waktu dapat berubah. Baswir (2004)
berpendapat
bahwa pembicaraan mengenai etika dan moral bisnis sesungguhnya
tidak
terlalu relevan bagi Indonesia. Jangankan masalah etika dan moral, masalah
tertib
hukum pun masih belum banyak mendapat perhatian. Sebaliknya, justru
sangat
lumrah di negeri ini untuk menyimpulkan bahwa berbisnis sama artinya
dengan
menyiasati hukum. Akibatnya, para pebisnis di Indonesia tidak dapat lagi
membedakan
antara batas wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum. Wilayah
etika
dan moral adalah sebuah wilayah pertanggungjawaban pribadi. Sedangkan
wilayah
hukum adalah wilayah benar dan salah yang harus dipertanggungjawabkan
di
depan pengadilan. Akan tetapi memang itulah kesalahan kedua dalam memahami
masalah
etika dan moral di Indonesia. Pencampuradukan antara wilayah etika dan
moral
dengan wilayah hukum seringkali menyebabkan kebanyakan orang Indonesia
tidak
bisa membedakan antara perbuatan yang semata-mata tidak sejalan dengan
kaidah-kaidah
etik dan moral, dengan perbuatan yang masuk kategori perbuatan
melanggar
hukum. Sebagai misal, sama sekali tidak dapat dibenarkan bila masalah
korupsi
masih didekati dari sudut etika dan moral. Karena masalah korupsi sudah
jelas
dasar hukumnya, maka masalah itu haruslah didekati secara hukum. Demikian
halnya
dengan masalah penggelapan pajak, pencemaran lingkungan, dan
pelanggaran
hak asasi manusia.
BERBISNIS
DENGAN ETIKA
Epistemologi
Etika Bisnis
Menurut
Kamus Inggris Indonesia Oleh Echols and Shadily (1992: 219),
Moral
= moral, akhlak, susila (su=baik,
sila=dasar, susila=dasar-dasar kebaikan);
Moralitas
= kesusilaan; Sedangkan Etik (Ethics) = etika, tata susila. Sedangkan
secara
etika (ethical) diartikan pantas, layak, beradab, susila. Jadi kata moral dan
etika
penggunaannya sering dipertukarkan dan disinonimkan, yang sebenarnya
memiliki
makna dan arti berbeda. Moral dilandasi oleh etika, sehingga orang yang
memiliki
moral pasti dilandasi oleh etika. Demikian pula perusahaan yang memiliki
etika
bisnis pasti manajernya dan segenap karyawan memiliki moral yang baik.
Uno
(2004) membedakan pengertian etika dengan etiket. Etiket (sopan
santun)
berasal dari bahasa Prancis etiquette yang berarti tata cara pergaulan
yang
baik
antara sesama menusia. Sementara itu etika, berasal dari bahasa Latin, berarti
falsafah
moral dan merupakan cara hidup yang benar dilihat dari sudut budaya,
susila,
dan agama.
Jika
kata etika dikaitkan dengan kata bisnis akan menjadi Etika Binis
(business
ethics). Steade et al (1984: 701) dalam bukunya ”Business, Its Natura and
Environment
An Introduction” memberi batasan yakni, ”business ethics is ethical
standards
that concern both the ends and means of business decision making”.
Definisi
etika bisnis menurut Business & Society - Ethics and Stakeholder
Management
(Caroll & Buchholtz, ?: dalam Iman, 2006):
Ethics
is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and
obligation.
Ethics can also be regarded as a set of moral principles or values.
Morality
is a doctrine or system of moral conduct. Moral conduct refers to that which
relates
to principles of right and wrong in behavior. Business ethics, therefore, is
concerned
with good and bad or right and wrong behavior that takes place within a
business
context. Concepts of right and wrong are increasingly being interpreted
today
to include the more difficult and subtle questions of fairness, justice, and
equity.
Sim
(2003) dalam bukunya Ethics and Corporate Social Responsibility - Why
Giants
Fall, menyebutkan:
Ethics
is a philosophical term derived from the Greek word “ethos,” meaning
character
or custom. This definition is germane to effective leadership in
organizations
in that it connotes an organization code conveying moral integrity and
consistent
values in service to the public.
Jadi,
ada beberapa kata kunci di sini, yaitu:
•
Ethics: Is the discipline that deals with what is good and bad and with
moral
duty
and obligation, can also be regarded as a set of moral principles or
values.
•
Ethical behavior: Is that which isaccepted as morally “good” and “right”
as
opposed
to “bad” or “wrong” in a particular setting.
•
Morality: A system or doctrine of moral conduct which refers to
principles of
right
and wrong in behavior.
Etika
bisnis sendiri terbagi dalam:
•
Normative ethics: Concerned with supplying and justifying a coherent
moral
system
of thinking and judging. Normative ethics seeks to uncover, develop,
and
justify basic moral principles that are intended to guide behavior, actions,
and
decisions (DeGeorge, 2002)
•
Descriptive ethics: Is concerned with describing, characterizing, and
studying
the
morality of a people, a culture, or a society. It also compares and contrasts
different
moral codes, systems, practices, beliefs, and values (Bunchholtz and
Rosenthal,
1998).
Memang
diakui oleh Steade et al. (1984: 584) bahwa menunjuk sesuatu
secara
tepat yang merupakan perilaku bisnis secara etik bukanlah suatu tugas
gampang.
Dalam hal ini, beberapa penduduk menyamakan perilaku secara etik
(ethical
behavior) dengan perilaku legal (legal behavior) – yaitu, jika suatu tindakan
adalah
legal (syah), mereka harus dapat diterima. Kebanyakan penduduk, termasuk
manajer,
mengakui bahwa batas-batas legal pada bisnis harus dipatuhi. Namun,
mereka
melihat batas-batas legal ini sebagai suatu titik pemberangkatan untuk
perilaku
bisnis dan tindakan manajerial. Secara nyata, perilaku bisnis beretika
merefleksikan
hukum ditambah tindakan etika masyarakat, moral (kesusilaan), dan
nilia-nilai
seperti digambarkan pada Gambar 1. Pada gilirannya formulasi hukum
mengikuti
suatu tindak-tanduk etika masyarakat dan hasilnya secara per lahan
muncul
dua, yaitu adanya suatu hubungan ”give-and take” antara apa yang ”legal”
dan
apa yang ”cara etik”.
=
+
Gambar
1
Elemen-Elemen
Perilaku Bisnis Beretika
[Sumber:
Steade et al. (1984: 584)]
Etika
adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan ”kebaikan
(rightness)”
atau moralitas (kesusilaan) dari kelakuan manusia. Kata etik juga
berhubungan
dengan objek kelakuan manusia di wilayah-wilayah tertentu, seperti
etika
kedokteran, etika bisnis, etika profesional (advokat, akuntan) dan lain-lain.
Disni
ditekankan
pada etika sebagai objek perilaku manusia dalam bidang bisnis. Dalam
pengertian
ini etika diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar
dari
perilaku
yang diterima masyarakat sebagai ”baik (good) atau buruk (bad)”. Catatan
tanda
kutip pada kata-kata baik dan buruk, yang berarti menekankan bahwa
penentuan
baik dan buruk adalah suatu masalah selalu berubah. Akhirnya,
keputusan
bahwa manajer membuat tentang pertanyaan yang bekaitan dengan etika
adalah
keputusan secara individual, yang menimbulkan konskuensi. Keputusan ini
merefleksikan
banyak faktor, termasuk moral dan nilai-nilai individu dan masyarakat.
Secara
sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan main yang
tidak
mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus diingat dalam praktek bisnis
sehari-hari
etika bisnis dapat menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankan.
Etika
bisnis sangat penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen
lainnya.
Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat.
Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang maupun
badan
hukum sebagai pemasok, pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain
(Dalimunthe,
2004).
Etika
dan moral (moralitas) sering digunakan secara bergantian dan
dipertukarkan
karena memiliki arti yang mirip. Ini mungkin karena kata Greek ethos
SOCIAL
ACCEPTABLE
OR
“ETHICAL”
BUSINESS
BEHAVIOR
LEGAL
BEHAVIOR
BEHAVIOR
GOVERNED
BY
SOCIETAL:
•
VALUES
•
MORALS
•
ETHICS
(WHICH
ARE
RESUMED
ALSO
TO
BE LEGAL)
dari
mana ”ethics” berasal dan kata latin mores dari mana ”morals” diturunkan
keduanya
artinya kebiasaan (habit) atau custom (adat). Namun moral (morals)
berbeda
dari etika (ethics), yang mana di dalam moralitas terkandung suatu elemenelemen
normatif
yang tidak dapat dielakkan/dihindari (inevitable normative
elements).
Dengan demikian, moral berhubungan dengan pembicaraan tidak hanya
apa
yang dikerjakan, tapi juga apa masyarakat seharusnya dikerjakan dan
dipercaya.
Elemen-elemen normatif ini, atau ”keharusan (oughtness)”, konflik
dengan
aspek-aspek perubahan etika bisnis.
Nilai-nilai
(values) adalah standar kultural dari perilaku yang diputuskan
sebagai
petunjuk bagi pelaku bisnis dalam mencapai dan mengejar tujuan. Dengan
demikian,
pelaku bisnis menggunakan nilai-nilai dalam pembuatan keputusan secara
etik
apakah mereka menyadarinya atau tidak. Semakin lama, manajer bisnis
ditantang
meningkatkan sensitivitas mereka terhadap permasalahan etika. Mereka
menekankan
pada evaluasi secara kritis prioritas nilai-nilai mereka untuk melihat
bagaimana
ini pantas dengan realitas dan harapan organisasi dan masyarakat.
Etika
Bisnis: Suatu Kerangka Global
Masalah
etika dalam bisnis dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori
yaitu:
Suap (Bribery), Paksaan (Coercion), Penipuan (Deception), Pencurian (Theft),
Diskriminasi
tidak jelas (Unfair discrimination)(lihat Nofielman, ?), yang masingmasing
dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1.
Suap (Bribery), adalah tindakan berupa menawarkan, memberi, menerima,
atau
meminta
sesuatu yang berharga dengan tujuan mempengaruhi tindakan seorang
pejabat
dalam melaksanakan kewajiban publik. Suap dimaksudkan untuk
memanipulasi
seseorang dengan membeli pengaruh. 'Pembelian' itu dapat
dilakukan
baik dengan membayarkan sejumlah uang atau barang, maupun
'pembayaran
kembali' setelah transaksi terlaksana. Suap kadangkala tidak
mudah
dikenali. Pemberian cash atau penggunaan callgirls dapat dengan
mudah
dimasukkan
sebagai cara suap, tetapi pemberian hadiah (gift) tidak selalu dapat
disebut
sebagai suap, tergantung dari maksud dan respons yang diharapkan oleh
pemberi
hadiah.
2.
Paksaan (Coercion), adalah tekanan, batasan, dorongan dengan paksa atau
dengan
menggunakan jabatan atau ancaman. Coercion dapat berupa ancaman
untuk
mempersulit kenaikan jabatan, pemecatan, atau penolakan industri
terhadap
seorang individu.
3.
Penipuan (Deception), adalah tindakan memperdaya, menyesatkan yang
disengaja
dengan mengucapkan atau melakukan kebohongan.
4.
Pencurian (Theft), adalah merupakan tindakan mengambil sesuatu yang
bukan
hak
kita atau mengambil property milik orang lain tanpa persetujuan pemiliknya.
Properti
tersebut dapat berupa property fisik atau konseptual.
5.
Diskriminasi tidak jelas (Unfair discrimination), adalah perlakuan tidak
adil
atau
penolakan terhadap orang-orang tertentu yang disebabkan oleh ras, jenis
kelamin,
kewarganegaraan, atau agama. Suatu kegagalan untuk memperlakukan
semua
orang dengan setara tanpa adanya perbedaan yang beralasan antara
mereka
yang 'disukai' dan tidak.
Pentingnya
Etika dalam Dunia Bisnis
Perubahan
perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar
tatanan
ekonomi dunia semakin membaik. Langkah apa yang harus ditempuh?.
Didalam
bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara.
Bahkan
tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan.
Kalau
sudah demikian, pengusaha yang menjadi pengerak motor perekonomian
akan
berubah menjadi binatang ekonomi. Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia
bisnis
tampaknya tidak menampakan kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari
semakin
meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan kepentingan
masyarakat,
tidak memperhatikan sumber daya alam maupun tindakan kolusi dan
suap
merupakan
segelintir
contoh pengabaian para pengusaha terhadap etika bisnis.
Sebagai
bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang
ada
pada masyarakat. Tata hubungan bisnis dan masyarakat yang tidak bisa
dipisahkan
itu membawa serta etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik
etika
itu antara sesama pelaku bisnis maupun etika bisnis terhadap masyarakat
dalam
hubungan langsung maupun tidak langsung.
Dengan
memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu dapat dilihat
bahwa
prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat
interaktif.
Hubungan ini tidak hanya dalam satu negara, tetapi meliputi berbagai
negara
yang terintegrasi dalam hubungan perdagangan dunia yang nuansanya kini
telah
berubah. Perubahan nuansa perkembangan dunia itu menuntut segera
dibenahinya
etika bisnis. Pasalnya, kondisi hukum yang melingkupi dunia usaha
terlalu
jauh tertinggal dari pertumbuhan serta perkembangan dibidang ekonomi.
10
Jalinan
hubungan usaha dengan pihak-pihak lain yang terkait begitu
kompleks.
Akibatnya, ketika dunia usaha melaju pesat, ada pihak-pihak yang
tertinggal
dan dirugikan, karena peranti hukum dan aturan main dunia usaha belum
mendapatkan
perhatian yang seimbang. Salah satu contoh yang selanjutnya
menjadi
masalah bagi pemerintah dan dunia usaha adalah masih adanya
pelanggaran
terhadap upah buruh. Hal lni menyebabkan beberapa produk nasional
terkena
batasan di pasar internasional. Contoh lain adalah produk-produk hasil hutan
yang
mendapat protes keras karena pengusaha Indonesia dinilai tidak
memperhatikan
kelangsungan sumber alam yang sangat berharga.
Perilaku
etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam
sebuah
bisnis. Pentingnya etika bisnis tersebut berlaku untuk kedua perspektif, baik
lingkup
makro maupun mikro, yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1.
Perspektif Makro. Pertumbuhan suatu
negara tergantung pada market
system
yang berperan lebih efektif dan efisien
daripada command system dalam
mengalokasikan
barang dan jasa. Beberapa kondisi yang diperlukan market system
untuk
dapat efektif, yaitu: (a) Hak memiliki dan mengelola properti swasta; (b)
Kebebasan
memilih dalam perdagangan barang dan jasa; dan (c) Ketersediaan
informasi
yang akurat berkaitan dengan barang dan jasa Jika salah satu subsistem
dalam
market system melakukan perilaku yang tidak etis, maka hal ini akan
mempengaruhi
keseimbangan sistem dan menghambat pertumbuhan sistem secara
makro.
Pengaruh
dari perilaku tidak etik pada perspektif bisnis makro :
a.
Penyogokan atau suap. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya kebebasan
memilih
dengan cara mempengaruhi pengambil keputusan.
b.
Coercive act. Mengurangi kompetisi yang efektif antara pelaku bisnis dengan
ancaman
atau memaksa untuk tidak berhubungan dengan pihak lain dalam bisnis.
c.
Deceptive information
d.
Pecurian dan penggelapan
e.
Unfair discrimination.
2.
Perspektif Bisnis Mikro. Dalam Iingkup ini
perilaku etik identik dengan
kepercayaan
atau trust. Dalam Iingkup mikro terdapat rantai relasi di mana supplier,
perusahaan,
konsumen, karyawan saling berhubungan kegiatan bisnis yang akan
berpengaruh
pada Iingkup makro. Tiap mata rantai penting dampaknya untuk selalu
menjaga
etika, sehingga kepercayaan yang mendasari hubungan bisnis dapat terjaga
dengan
baik.
Standar
moral merupakan tolok ukur etika bisnis. Dimensi etik merupakan
dasar
kajian dalam pengambilan keputusan. Etika bisnis cenderung berfokus pada
etika
terapan daripada etika normatif. Dua prinsip yang dapat digunakan sebagai
acuan
dimensi etik dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1) Prinsip konsekuensi
(Principle
of Consequentialist) adalah konsep etika yang berfokus pada konsekuensi
pengambilan
keputusan. Artinya keputusan dinilai etik atau tidak berdasarkan
konsekuensi
(dampak) keputusan tersebut; (2) Prinsip tidak konsekuensi (Principle
of
Nonconsequentialist) adalah terdiri dari rangkaian peraturan yang
digunakan
sebagai
petunjuk/panduan pengambilan keputusan etik dan berdasarkan alasan
bukan
akibat, antara lain: (a) Prinsip Hak, yaitu menjamin hak asasi
manusia yang
berhubungan
dengan kewajiban untuk tidak saling melanggar hak orang lain; (b)
Prinsip
Keadilan, yaitu keadilan yang biasanya
terkait dengan isu hak, kejujuran,
dan
kesamaan.
Prinsip
keadilan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: (1) Keadilan
distributive,
yaitu keadilan yang sifatnya
menyeimbangkan alokasi benefit dan
beban
antar anggota kelompok sesuai dengan kontribusi tenaga dan pikirannya
terhadap
benefit. Benefit terdiri dari pendapatan, pekerjaan, kesejahteraan,
pendidikan
dan waktu luang. Beban terdiri dari tugas kerja, pajak dan kewajiban
social;
(2) Keadilan retributive, yaitu keadilan yang terkait dengan retribution
(ganti
rugi)
dan hukuman atas kesalahan tindakan. Seseorang bertanggungjawab atas
konsekuensi
negatif atas tindakan yang dilakukan kecuali tindakan tersebut
dilakukan
atas paksaan pihak lain; dan (3) Keadilan kompensatoris, yaitu keadilan
yang
terkait dengan kompensasi bagi pihak yang dirugikan. Kompensasi yang
diterima
dapat berupa perlakuan medis, pelayanan dan barang penebus kerugian.
Masalah
terjadi apabila kompensasi tidak dapat menebus kerugian, misalnya
kehilangan
nyawa manusia.
Apabila
moral merupakan suatu pendorong orang untuk melakukan kebaikan,
maka
etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan
secara
rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan
mampu
mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan
bisnis
yang seimbang, selaras, dan serasi. Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu
kelompok
masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya
kepada
suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan
dilaksanakan.
Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang
yang
berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Tentu
dalam
hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang
transparan
antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun
bangsa
lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara
pihak
lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait
yang
tidak mengetahui dan menyetujui adanya moral dan etika, jelas apa yang
disepakati
oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas
untuk
menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya
kepedulian
antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat
global
yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam
perekonomian.
Dalam
menciptakan etika bisnis, Dalimunthe (2004) menganjurkan untuk
memperhatikan
beberapa hal sebagai berikut:
1.
Pengendalian Diri
Artinya,
pelaku-pelaku bisnis mampu mengendalikan diri mereka masingmasing
untuk
tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun.
Disamping
itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan
main
curang atau memakan pihak lain dengan menggunakan keuntungan tersebut.
Walau
keuntungan yang diperoleh merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi
penggunaannya
juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah
etika
bisnis yang "etik".
2.
Pengembangan Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility)
Pelaku
bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan
hanya
dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan
lebih
kompleks
lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis
untuk
menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand
harus
menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak
memanfaatkan
kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi,
dalam
keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan
memanifestasikan
sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya. Tanggung
jawab
sosial bisa dalam bentuk kepedulian terhadap masyarakat di sekitarnya,
terutama
dalam hal pendidikan, kesehatan, pemberian latihan keterampilan, dll.
3.
Mempertahankan Jati Diri
Mempertahankan
jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh
pesatnya
perkembangan informasi dan teknologi adalah salah satu usaha
menciptakan
etika bisnis. Namun demikian bukan berarti etika bisnis anti
perkembangan
informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus
dimanfaatkan
untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak
kehilangan
budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4.
Menciptakan Persaingan yang Sehat
Persaingan
dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan
kualitas,
tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya
harus
terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah
kebawah,
sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu
memberikan
spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam
menciptakan
persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia
bisnis
tersebut.
5.
Menerapkan Konsep “Pembangunan Berkelanjutan"
Dunia
bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat
sekarang,
tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa datang.
Berdasarkan
ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan
dan
keadaan
saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan
dan
keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk
memperoleh
keuntungan besar.
6.
Menghindari Sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan
Komisi)
Jika
pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak
akan
terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk
permainan
curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan
nama
bangsa dan negara.
7.
Mampu Menyatakan yang Benar itu Benar
Artinya,
kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit
(sebagai
contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan
"katabelece"
dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data
yang salah.
Juga
jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan
"komisi"
kepada
pihak yang terkait.
8.
Menumbuhkan Sikap Saling Percaya antar Golongan Pengusaha
Untu
menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada sikap saling
percaya
(trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha
lemah,
sehingga pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan
pengusaha
lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu
hanya
ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan
kesempatan
kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia
bisnis.
9.
Konsekuen dan Konsisten dengan Aturan main Bersama
Semua
konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana
apabila
setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut.
Mengapa?
Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada
"oknum",
baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan
"kecurangan"
demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan
"gugur"
satu semi satu.
10.
Memelihara Kesepakatan
Memelihara
kesepakatan atau menumbuhkembangkan Kesadaran dan rasa
Memiliki
terhadap apa yang telah disepakati adalah salah satu usaha menciptakan
etika
bisnis. Jika etika ini telah dimiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan
suatu
ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11.
Menuangkan ke dalam Hukum Positif
Perlunya
sebagian etika bisnis dituangkan dalam suatu hukum positif yang
menjadi
Peraturan Perundang-Undangan dimaksudkan untuk menjamin kepastian
hukum
dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha
lemah.
Kebutuhan
tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah
dirasakan
dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya
perkembangan
globalisasi dimuka bumi ini. Dengan adanya moral dan etika dalam
dunia
bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang
itu
akan dapat diatasi.
Ahli
pemberdayaan kepribadian Uno (2004) menjelaskan bahwa
mempraktikkan
bisnis dengan etiket berarti mempraktikkan tata cara bisnis yang
sopan
dan santun sehingga kehidupan bisnis menyenangkan karena saling
menghormati.
Etiket berbisnis diterapkan pada sikap kehidupan berkantor, sikap
menghadapi
rekan-rekan bisnis, dan sikap di mana kita tergabung dalam organisasi.
Itu
berupa senyum -- sebagai apresiasi yang tulus dan terima kasih, tidak
menyalahgunakan
kedudukan, kekayaan, tidak lekas tersinggung, kontrol diri,
toleran,
dan tidak memotong pembicaraan orang lain. Dengan kata lain, etiket bisnis
itu
memelihara suasana yang menyenangkan, menimbulkan rasa saling menghargai,
meningkatkan
efisiensi kerja, dan meningkatkan citra pribadi dan perusahaan.
Sedangkan
berbisnis dengan etika bisnis adalah menerapkan aturan-aturan umum
mengenai
etika pada perilaku bisnis. Etika bisnis menyangkut moral, kontak sosial,
hak-hak
dan kewajiban, prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Jika aturan secara umum
mengenai
etika mengatakan bahwa berlaku tidak jujur adalah tidak bermoral dan
beretika,
maka setiap insan bisnis yang tidak berlaku jujur dengan pegawainya,
pelanggan,
kreditur, pemegang usaha maupun pesaing dan masyarakat, maka ia
dikatakan
tidak etis dan tidak bermoral. Intinya adalah bagaimana kita mengontrol
diri
kita sendiri untuk dapat menjalani bisnis dengan baik dengan cara peka dan
toleransi.
Tiga
Prinsip Universal
Kasus
yang paling gampang adalah Enron, sebuah perusahaan enerji yang
sangat
bagus. Sebagai salah satu perusahaan yang menikmati booming industri
energi
di tahun 1990an, Enron sukses menyuplai energi ke pangsa pasar yang
begitu
besar dan memiliki jaringan yang luar biasa luas. Enron bahkan berhasil
menyinergikan
jalur transmisi energinya untuk jalur teknologi informasi. Kalau dilihat
dari
siklus bisnisnya, Enron memiliki profitabilitas yang cukup menggiurkan. Seiring
booming
industri energi, Enron memosisikan
dirinya sebagai energy merchants:
membeli
natural gas dengan harga murah, kemudian dikonversi dalam energi
listrik,
lalu
dijual dengan mengambil profit yang lumayan dari markup sale of power atau
biasa
disebut “spark spread“.
Sebagai
sebuah entitas bisnis, Enron pada awalnya adalah anggota pasar
yang
baik, mengikuti peraturan yang ada di pasar dengan sebagaimana mestinya.
Pada
akhirnya, Enron meninggalkan prestasi dan reputasi baik tersebut. Sebagai
perusahaan
Amerika terbesar kedelapan, Enron kemudian tersungkur kolaps pada
tahun
2001. Tepat satu tahun setelah California energy crisis. Seleksi alam
akhirnya
berlaku.
Perusahaan yang bagus akan mendapat reward, sementara yang buruk
akan
mendapat punishment. Termasuk juga pihak-pihak yang mendukung
tercapainya
hal tersebut — dalam hal ini Arthur Andersen.
Bisa
saja kita menipu seseorang, tetapi tak akan mungkin selamanya menipu,
kan?
Apa enaknya hidup penuh tipu-tipu yang tidak akan pernah menentramkan
batin.
Kasus Enron membuktikan bahwa pelaku bisnis yang curang akan menunggu
waktu
saja masuk jurang, sedangkan yang jujur tidak akan pernah hancur dan
menunggu
waktu saja untuk mujur. Hal ini dijastifikasi oleh hukum besi yang tidak
bisa
dielakkan oleh siapan karena menyangkut nasib manusia, termasuk pelakupelaku
bisnis
kotor atau tidak beretika yang penuh tipu-tipu yaitu, ”Hukum Sebab-
Akibat”,
”Aksi-Reaksi”, dan ”Menabur-Menuai” adalah kebenaran sepanjang zaman,
prinsip
universal yang telah ada sejak awal sejarah. Dalam Agama Hindu
rangkuman
ketiga hukum besi ini tidak lain adalah ”Karma- Pahala”, di mana Karma
=
Sebab, Aksi, Menabur, dan Pahala = Akibat, Reaksi, Menuai. Artinya, apapun yang
diperbuat
oleh seseorang, kelak itulah yang Dia petik. Jika seseorang berbuat jahat
terhadap
orang lain, maka hasil kejahatan yang akan mereka nikmati, sebaliknya jika
perbuatan
baik mereka taburkan maka hasil perbuatan baik yang akan mereka tuai
atau
hasilkan.
P
E N U T U P
1.
Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan ”kebaikan
(rightness)”
atau moralitas (kesusilaan) dari perilaku manusia. Dalam pengertian
ini
etika diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari
perilaku
yang
diterima masyarakat sebagai ”baik (good” atau buruk (bad)”. Sedangkan
Penentuan
baik dan buruk adalah suatu masalah selalu berubah.
2.
Etika bisnis adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan
manajer
dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan
mengoperasikan
bisnis yang etik.
3.
Paradigma etika dan bisnis adalah dunia yang berbeda sudah saatnya dirubah
menjadi
paradigma etika terkait dengan bisnis atau mensinergikan antara etika
dengan
laba. Justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi perusahaan yang
baik
yang dilandasi oleh etika bisnis merupakan sebuah competitive advantage
yang
sulit ditiru. Oleh karena itu, perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai
sukses
jangka panjang dalam sebuah bisnis.
DAFTAR
PUSTAKA
Baswir,
Revrisond. 2004. Etika Bisnis. Dalam Kompas Senin, 08 Maret 2004.
Penerbit
PT Gramedia, Jakarta.
Buchholtz,
R.A and S. B. Rosenthal. 1998. Business Ethics. Upper Saddle River,
N.J.:
Prentice Hall.
Dalimunthe,
Rita F. 2004. Etika Bisnis. Dalam Website Google: Etika Bisnis dan
Pengembangan
Iptek.
DeGeorge,
R. 2002. Business Ethics. Upper Saddle River, N.J.: Prentice-Hall, 5 th
Ed.
Echols,
John M and Shadily, Hasan. 1992. Kamus Inggris Indonesia. Penerbit PT
Gramedia,
Jakarta.
Hatta,
Mohammad. 1960. Pengantar ke Djalan Ilmu dan Pengetahuan. PT.
Pembangunan
Djakarta. 31 Hal.
It
Pin. 2006. Etika dan Bisnis. Dalam Kompas, Jumat 30 Juni 2006.
Mulkhan,
Abdul Munir. 2005. Etika Welas Asih dan Reformasi Sosial Budaya Kiai
Ahmad
Dahlan. Dalam Kompas 1 Oktober 2005. Penerbit PT Gramedia,
Jakarta.
Nofie,
lman, Nofie ?, Pengantar Etika Bisnis. Dalam Website Google: Etika Bisnis
dan
Pengembangan Iptek.
Nofie,
Iman. 2006. Etika Bisnis dan Bisnis Beretika. Dalam Website Google: Etika
Bisnis
dan Pengembangan Iptek.
Rukmana.
2004. Etika Bisnis dalam Prinsip Ekonomi Syariah. Makalah Disajikan
pada
Seminar “Etika Bisnis Dalam Pandangan Islam” yang Diselenggarakan
oleh
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Cabang Bandung, sabtu 6 Maret
2004.
Sims,
R. 2003. Ethics and Corporate Social Responsibility - Why Giants Fall. C.T.
Greenwood
Press.
Steade,
Richard D.; Lowry James R., and Gloss, Raymond E. 1984. BUSINESS, Its
Nature
and Environment An Introduction. South-Western Publishing Co,
Cincinnati-Palo
Alto, California.729 p.
Sularto,
St. 2002. Pengembangan Iptek tidak Bisa Liar. Dalam Kompas, Minggu 21
April
2002. Penerbit Pt Gramedia, Jakarta.
Suria
Sumantri, Yuyun. 2005. Pengantar Filsafat Ilmu. Penerbit PT Sinar Harapan,
Jakarta.
Uno,
Mien R. 2004. Jangan Bernapas dalam Lumpur. Dalam Website Google: Etika
Bisnis
dan Pengembangan Iptek.