a. a.
Kasus KAP Andersen dan Enron
Kasus KAP Andersen dan Enron terungkap saat Enron
mendaftarkan kebangkrutannya ke pengadilan pada tanggal 2 Desember 2001. Saat
itu terungkap, terdapat hutang perusahaan yang tidak dilaporkan, yang
menyebabkan nilai investasi dan laba yang ditahan berkurang dalam jumlah yang
sama. Sebelum kebangkrutan Enron terungkap, KAP Andersen mempertahankan Enron
sebagai klien perusahaan, dengan memanipulasi laporan keuangan dan penghancuran
dokumen atas kebangkrutan Enron, dimana sebelumnya Enron menyatakan bahwa pada
periode pelaporan keuangan yang bersangkutan tersebut, perusahaan mendapatkan
laba bersih sebesar $ 393, padahal pada periode tersebut perusahaan mengalami kerugian
sebesar $ 644 juta yang disebabkan oleh transaksi yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh Enron.
Analisis : Contoh kasus yang terjadi pada KAP
Andersen dan Enron adalah sebuah pelanggaran etika profesi akuntansi dan
prinsip etika profesi, yaitu berupa pelanggaran tanggung jawab –yang salah
satunya adalah memelihara kepercayaan masyarakat terhadap jasa profesional
seorang akuntan. Pelanggaran prinsip kedua yaitu kepentingan publik,pada kasus
KAP Andersen dan Enron tersebut kurang dipegang teguhnya kepercayaan
masyarakat, dan tanggung jawab yang tidak semata-mata hanya untuk kepentingan
kliennya tetapi juga menitikberatkan pada kepentingan public. Jadi seharusnya
KAP Andersen dalam melakukan tugasnya sebagai akuntan harus melakukan tindakan
berdasarkan etika profesi akuntansi dan prinsip etika profesi.
b. kasus
underlying L/C bni
kasus fraud di
BNI yang menyebabkan Negara mengalami kerugian mencapai 1.7 trliliun , menarik
untuk dikaji . kasus ini juga terkuak oleh kepala divisi internasional terhadap
kejanggalan prosedur L/C BNI cabang kebayoran baru.
Berdasarkan dari
divisi internasional yang di rilis pada tanggal 7 agustus 2003 , kemudian
direktur utama BNI menurunkan tim audit khusus untuk mendalami kasus ini. Hasilnya
laporan tim audit khusus yang di rilis pada awal September 2003 membuktikan
kebenaran pembobolan uang Negara sebesar 1.7 triliun
c. fraud di phar
mor inc
sejarah mencata
kasus phar mor inc sebagai kasus fraud yang pling melegenda di kalangan auditor
keuangan . eksekutif pharm or inc secara sengaja melakukan fraud untuk
mendapatkan financial yang masuk ke saku pribadi di jajaran top manajemen
perusahaan. Phar mor inc, termasuk
perusahaan besar di amerika serikat yang di nyatakan bangkrut pada bulan
agustus 1992 berdasarkan U S bangkruptcy code
pada masa puncak
kejayaan , pharm or inc mempunyai 300 outlet besar hampir di seluruh Negara bagian
dan memperkerjakan 23000 orang karyawan .
produk yang di jual sangat bervariasi dari obat – obatan , furniture electronic
pakain dan olah raga hingga video tape . dalam melakukan fraud, top manajemen
membuat laporan keuangan ganda. Satu laporan inventory , sedangkan laporan lain
adalah laporan bulanan keuangan . satu set laporan inventory berisi laporan
inventory yang benar sedangkan satu set lainya laporan berisi tentang informasi
yang di ajdusment dan di ajuakn ke auditor ya use only.
d. Kerugian Kasus Fraud Capai Rp2,37 Miliar
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mencatat pada Mei 2012
terdapat 1.009 kasus fraud yang dilaporkan, dengan nilai kerugian
mencapai Rp2,37 miliar. Jenis fraud yang paling banyak terjadi adalah
pencurian indentitas dan Card Not Present (CNP) yaitu masing-masing sebanyak
402 kasus dan 458 kasus dengan nilai kerugian masing-masing mencapai Rp1,14
miliar dan Rp545 juta yang dialami oleh penerbit.
"Kita sadari jumlah kejahatan terbesar dalam layanan perbankan elektronik ada pada alat pembayaran menggunakan kartu terutama penggunaan kartu kredit," kata Deputi Gubernur BI Ronald Waas, saat membuka Seminar Nasional Pencegahan dan Penanganan Kejahatan pada Layanan Perbankan Elektronik, di Gedung BI, Jakarta, Kamis (5/7/2012).
Berdasarkan data Mastercard, peringkat fraud Indonesia berada pada posisi kedua terendah dibandingkan dengan negara lain di Asia Pasifik. Sedangkan berdasarkan data Visa, peringkat fraud Indonesia berada pada posisi ketiga terendah dibandingkan dengan negara asia lain di Asia Tenggara jauh di bawah Singapura dan Malaysia.
"Perhitungan ini diperoleh berdasarkan nilai fraud dengan total nilai transaksi dalam periode perhitungan," jelasnya.
Sementara itu, berdasarkan kajian yang dilakukan Indonesia Security Inciudent Response Team on Internet Infrastructure, ada beberapa titik rawan dalam keamanan dan kasus kejahatan terkait layanan perbankan elektronik di Indonesia, seperti kerawanan prosedur perbankan.
"Lemahnya proses identifikasi dan validasi calon nasabah sehingga mudah untuk dilakukan pemalsuan identitas," ujarnya singkat.
Selain itu, ada kerawanan fisik, kartu ATM yang digunakan bank saat ini jenisnya magnetic stripe card yang tidak dilengkapi pengaman chip sehingga skimming PIN mudah dilakukan. Kerawanan aplikasi dan kerawanan perilaku dan kerawanan regulasi dan kelemahan penegakan hukum.
Lebih lanjut, Ronald mengatakan penggunaan chip pada kartu ATM atau debit juga sudah mulai digagas dan selambat-lambatnya dilakukan pada akhir 2015. Di sisi lain, penggunaan enam digit PIN pada akhir 2014 mendatang. "Kajian, sudah pasti empat dan enam digit lebih susah nebak yang enam digit kan. Kita musti kombinasinya lebih banyak dibanding empat digit," tukas dia. (Iman Rosidi/Sindoradio/ade)
"Kita sadari jumlah kejahatan terbesar dalam layanan perbankan elektronik ada pada alat pembayaran menggunakan kartu terutama penggunaan kartu kredit," kata Deputi Gubernur BI Ronald Waas, saat membuka Seminar Nasional Pencegahan dan Penanganan Kejahatan pada Layanan Perbankan Elektronik, di Gedung BI, Jakarta, Kamis (5/7/2012).
Berdasarkan data Mastercard, peringkat fraud Indonesia berada pada posisi kedua terendah dibandingkan dengan negara lain di Asia Pasifik. Sedangkan berdasarkan data Visa, peringkat fraud Indonesia berada pada posisi ketiga terendah dibandingkan dengan negara asia lain di Asia Tenggara jauh di bawah Singapura dan Malaysia.
"Perhitungan ini diperoleh berdasarkan nilai fraud dengan total nilai transaksi dalam periode perhitungan," jelasnya.
Sementara itu, berdasarkan kajian yang dilakukan Indonesia Security Inciudent Response Team on Internet Infrastructure, ada beberapa titik rawan dalam keamanan dan kasus kejahatan terkait layanan perbankan elektronik di Indonesia, seperti kerawanan prosedur perbankan.
"Lemahnya proses identifikasi dan validasi calon nasabah sehingga mudah untuk dilakukan pemalsuan identitas," ujarnya singkat.
Selain itu, ada kerawanan fisik, kartu ATM yang digunakan bank saat ini jenisnya magnetic stripe card yang tidak dilengkapi pengaman chip sehingga skimming PIN mudah dilakukan. Kerawanan aplikasi dan kerawanan perilaku dan kerawanan regulasi dan kelemahan penegakan hukum.
Lebih lanjut, Ronald mengatakan penggunaan chip pada kartu ATM atau debit juga sudah mulai digagas dan selambat-lambatnya dilakukan pada akhir 2015. Di sisi lain, penggunaan enam digit PIN pada akhir 2014 mendatang. "Kajian, sudah pasti empat dan enam digit lebih susah nebak yang enam digit kan. Kita musti kombinasinya lebih banyak dibanding empat digit," tukas dia. (Iman Rosidi/Sindoradio/ade)
Okezone.com
e. KASUS
FRAUD PT. KIMIA FARMA
PT Kimia Farma merupakan salah satu dari produsen obat-obatan milik pemerintah yang ada di Indonesia. Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih yaitu sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa(HTM). Namun, Kementrian BUMN dan BAPEPAM menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali dan hasilnya telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal yang telah dilaporkan. Kesalahan itu timbul pada unit Industri Bahan Baku yaitu kesalahan berupa overstated penjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral berupa overstated persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7 miliar. Diduga upaya penggelembungan dana yang dilakukan oleh pihak direksi Kimia Farma, dilakukan untuk menarik para investor untuk menanamkan modalnya kepada PT. Kimia Farma.
Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada dalam daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma, melalui direktur produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan pada tanggal 1 dan 3 Februari2002. Daftar harga per 3 Februari ini telah digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001. Sedangkan kesalahan penyajian berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya pencatatan ganda atas penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi.Berdasarkan penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut juga tidak terbukti membantu manajemen melakukan kecurangan tersebut.Sebagai akibat dari kejadiannya, ini maka PT Kimia Farma dikenakan denda sebesar Rp 500 juta, direksi lama PT Kimia Farma terkena denda Rp 1 miliar, serta partner HTM yang mengaudit Kimia Farma didenda sebesar 100 juta rupiah. Kesalahan yang dilakukan oleh partner HTM tersebut adalah bahwa ia tidak berhasil mengatasi risiko audit dalam mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan PT Kimia Farma, walaupun ia telah menjalankan audit sesuai SPAP.
PT Kimia Farma merupakan salah satu dari produsen obat-obatan milik pemerintah yang ada di Indonesia. Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih yaitu sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa(HTM). Namun, Kementrian BUMN dan BAPEPAM menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali dan hasilnya telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal yang telah dilaporkan. Kesalahan itu timbul pada unit Industri Bahan Baku yaitu kesalahan berupa overstated penjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral berupa overstated persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7 miliar. Diduga upaya penggelembungan dana yang dilakukan oleh pihak direksi Kimia Farma, dilakukan untuk menarik para investor untuk menanamkan modalnya kepada PT. Kimia Farma.
Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada dalam daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma, melalui direktur produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan pada tanggal 1 dan 3 Februari2002. Daftar harga per 3 Februari ini telah digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001. Sedangkan kesalahan penyajian berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya pencatatan ganda atas penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi.Berdasarkan penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut juga tidak terbukti membantu manajemen melakukan kecurangan tersebut.Sebagai akibat dari kejadiannya, ini maka PT Kimia Farma dikenakan denda sebesar Rp 500 juta, direksi lama PT Kimia Farma terkena denda Rp 1 miliar, serta partner HTM yang mengaudit Kimia Farma didenda sebesar 100 juta rupiah. Kesalahan yang dilakukan oleh partner HTM tersebut adalah bahwa ia tidak berhasil mengatasi risiko audit dalam mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan PT Kimia Farma, walaupun ia telah menjalankan audit sesuai SPAP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar